REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyatakan Undang-Undang Nomor 11/1974 tentang Pengairan mendesak untuk direvisi ulang karena sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang.
"Keberadaan UU Pengairan ini sudah uzur. Perlu revisi ulang untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air," kata anggota DPD RI asal Jawa Tengah Denty Eka Widi Pratiwi di Semarang, Senin (29/2).
Hal itu diungkapkannya di sela kunjungan rombongan Komite II DPD RI yang dipimpinnya ke Waduk Jatibarang, Semarang, untuk meminta berbagai masukan, termasuk pemerintah daerah terkait revisi UU Pengairan.
Denty menjelaskan sebenarnya sempat ada yang menggantikan UU Pengairan lama dengan adanya UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena ada unsur privatisasi.
Turut dalam rombongan, antara lain anggota DPD RI asal Bengkulu Riri Damayanti, Permana Sari (Kalimantang Tengah), Rubaiti Erlita (Kalimantan Barat), Anang Prihantoro (Lampung), dan Matheus Stefi (Ambon).
"Makanya, kami mengambil sampel tiga provinsi untuk melihat sejauh mana pengelolaan sumber daya airnya, sekaligus minta masukan, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah," katanya.
Selama ini, kata dia, pemerintah sudah beberapa kali menerbitkan peraturan pemerintah (permen) untuk menindaklanjuti UU Pengairan, tetapi tentunya kurang maksimal untuk mengoptimalkan pengelolaan.
Ia juga menyayangkan draft RUU Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) tidak masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini, namun berjanji untuk mengawalnya pada tahun depan.
"Kami juga bertanya, kenapa (draft RUU Pengelolaan SDA) tidak masuk prolegnas tahun ini? Apa mungkin karena isunya kurang seksi? Padahal, urgensi pengelolaan SDA ini sangat luar biasa," tegasnya.
Seperti pengelolaan Waduk Jatibarang yang sebenarnya bisa difungsikan untuk tiga manfaat, yakni penanggulangan banjir, penyediaan sumber baku untuk air bersih, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
"Namun, baru satu fungsi yang berjalan sampai sekarang, yakni penanggulangan banjir. Kan sayang kalau seperti ini karena manfaatnya sangat besar. Itulah pentingnya keberadaan UU Pengairan yang baru," katanya.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana Ni Made Sumiarsih membenarkan keberadaan UU Pengairan yang sudah tidak relevan mengatur pengelolaan SDA sekarang ini.
"Pasal dalam UU Pengairan sedikit sekali. Hanya 17 atau 21 pasal, dan sifatnya sangat general. Petunjuk pelaksanaannya yang menjadi susah karena harus memayungi semua aktivitas perizinan," pungkasnya.