REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA -- Dr. Taruna Ikrar, M.D. M. Pharm.,PhD selaku Senior Specialist and Neuroscientist, Division Neurobiology dari University of California, Irvine, Amerika Serikat, menjelaskan, secara fungsional dengan menggunakan FMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging), suatu teknik pencitraan otak yang melihat fungsi berdasarkan electromagnetic, neurotransmitter, neurochemical, dan neurohormonal terdapat beberapa perbedaan densitas otak seorang homoseksual dalam pencitraan.
Ikrar menjelaskan, otak adalah bagian paling kompleks dari tubuh manusia. Organ ini memiliki fungsi utama sebagai pusat kemampuan berpikir, kecerdasan, mengingat, inovasi, serta pusat penafsiran terhadap fungsi panca indra, inisiator gerakan tubuh, dan pengendali perilaku.
Termasuk di dalamnya orientasi seksual ditentukan oleh cara berpikir seseorang terhadap lawan jenisnya. Secara struktural otak terdiri atas 100 miliar sel saraf (neuron) yang saling berhubungan.
Hubungan antar sel saraf disebut sinaps yang terjadi melalui impuls listrik dan kimiawi dengan neurotransmiter sebagai perantara. Neurotransmiter berperan dalam pengaturan sistem kerja antarneuron. Jika terjadi gangguan pada neurotransmiter, neuron akan bereaksi abnormal.
“Dalam ilmu saraf dikenal istilah plastisitas otak, yakni kapasitas sistem saraf untuk mengubah struktur dan fungsinya sebagai reaksi terhadap keragaman lingkungan,'' kata Ikrar lewat surat elektronik kepada Republika.co.id.
''Nah, cara berpikir dan orientasi seksual tersebut, sangat dipengaruhi oleh pola pikir seseorang, yang tentu saja menentukan hubungan antara sel sel saraf otak tersebut,” katanya.
Artinya, berdasarkan penjelasan Taruna, apabila pola pikir seseorang dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman dia terhadap jenis seks tertentu, ataupun akibat trauma tertentu, maka secara neuroplastisitas akan terstruktur hubungan tertentu di otak.
Pada akhirnya menyebabkan mereka akan suka pada jenis orientasi seksual tertentu, yang boleh jadi kesukaan mereka bertentangan dengan pemahaman manusia normal secara umum yang lazim disebut sebagai disorientasi seksual.
Apabila seseorang sudah mengalami disorientasi seksual maka akan menyebabkan ketertarikan mereka pada sesama jenis seksual.
Tentu saja, kata dia, secara fungsional umum, akan meregulasi sistem hormonal tertentu atau neurotransmitter tertentu yang menetap dalam pikiran, keyakinan, ketertarikan, serta gairah seperti yang dialami oleh orang-orang LGBT.