Kamis 18 Feb 2016 20:20 WIB

PKS: Menkumham, KPK dan Presiden tak Sinkron Terkait Revisi UU KPK

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melihat masih ada ketidaksinkronan antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK (KPK) dan Presiden terkait revisi Undang-Undang (UU) KPK.

Menkumham menganggap revisi akan menguatkan, namun KPK justru menganggap melemahkan. Lain lagi halnya Presiden Joko Widodo yang menyatakan akan membatalkan revisi jika melemahkan KPK. Selama ketiga lembaga itu tidak sinkron, PKS tetap akan menolak revisi UU KPK.

"Berapa kali pun paripurna diundur sikap PKS tetap menolak revisi UU KPK," kata Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Kamis (18/2).

Sikap ini menegaskan sikap PKS yang telah disampaikan pada rapat paripurna terdahulu yang menolak revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Fraksi PKS ketika itu tegas menyatakan revisi UU KPK sebaiknya menjadi inisiatif pemerintah agar lembaga DPR tidak selalu menerima stigma negatif.

PKS mendukung langkah-langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan pimpinan KPK baru, termasuk langkah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah pejabat.

"Selama tindakan OTT dilakukan sesuai dengan koridor  hukum dan aturan perundangan yang berlaku, kita mendukung. Yang penting tidak ditunggangi kepentingan politik dan tebang pilih dalam penegakan hukum," jelasnya.

Hidayat berpandangan, KPK harus makin diperkuat dengan hukum kuat agar dapat menangani kasus-kasus besar yang selama ini menjadi perhatian masyarakat, yakni kasus korupsi di atas Rp 500 miliar bahkan triliunan rupiah.

Menurutnya, pimpinan KPK yang baru perlu diberi vitamin agar kuat sehingga bisa menangani kasus-kasus korupsi di atas Rp 500 miliar bahkan triliunan. Bukan malah dilemahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement