Kamis 18 Feb 2016 07:27 WIB

Ini Tiga Upaya Membendung Revisi UU KPK

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Bayu Hermawan
Setop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Setop Revisi RUU KPK. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menggelar aksi unjuk rasa untuk menghentikan revisi RUU KPK di depan Komplek Parlemen DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO Unand) Charles Simabura mengatakan, ada tiga upaya yang bisa ditempuh untuk menghindari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

"(Persetujuan melakukan revisi) di dua lembaga (DPR dan presiden), jadi kalau kita bicara pembentukan UU, bolanya ada di dua lembaga," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (18/2).

Menyoal upaya dimaksud, pertama, publik bisa mendesak presiden agar menarik diri dari pembahasan revisi UU KPK. Dengan begitu, jika DPR setuju tapi Presiden tidak, pembahasan revisi UU KPK tidak akan berlanjut.

"Bagusnya kan dua-duanya menolak, kalau salah satu sudah setuju, kita bisa ke pihak mana yang bekerja untuk tidak setuju," ujarnya.

Dalam konteks demokrasi langsung, ia menjelaskan, baik Presiden maupun anggota DPR, dipilih oleh rakyat. Seharusnya, DPR dan Presiden sama-sama peka terhadap keinginan rakyat.

"Kita mendesak ke Presiden untuk menggunakan kewenangannya, apa itu? Tidak memberikan persetujuan bersama usulan perubahan itu," jelasnya.

Charles melanjutkan, cara kedua jika DPR dan presiden ternyata sama-sama menyetujui adanya pembahasan revisi UU KPK, langkah selanjutnya memperjuangkan substansinya. Yakni, bagaimana agar isi revisi UU KPK, bukan melemahkan lembaga antirasuah tersebut, tapi menguatkan.

"Jadi, kalau tak bisa dibendung, terpaksa kita harus kerahkan kekuatan lakukan lobi supaya pasal-pasal yang ada, bukan pasal yang melemahkan," katanya.

Namun, ia berujar, fokus desakan dari masyarakat, aktivis, dan akademisi, masih menyoal penolakan terhadap pembahasan revisi UU KPK. Belum masuk ke materi, kendati draf revisi UU KPK sudah beredar.

"Kalaupun nanti terjadi, kalau pembahasan, baru kita bertarung lagi di substansi," ucapnya.

Jika ternyata pasal-pasal yang diusulkan benar adanya melemahkan KPK, publik harus meminta Presiden menolak isinya saat persetujuan bersama di akhir.

Namun, kata Charles, jika upaya tersebut tidak berhasil dilakukan, langkah terakhir masyarakat adalah Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia berujar, Masyarakat Sipil Antikorupsi, akademisi, dan publik harus optimistis terhadap hasil MK menyoal revisi UU KPK. "Kalau mereka setuju berdua, dan rasa-rasanya memang melemahkan, pintu terakhir kita adalah MK," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement