REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Mahfud MD menyarankan agar penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai standar ketetapan aturan yang baku dalam pelaksanaannya.
"Khusus penyadapan, memang harus ada izin dan tidak bisa sembarangan, standarnya harus dipenuhi. Maka, kalau revisi itu untuk menertibkan prosedur, tidak ada salahnya," katanya dalam diskusi revisi penguatan UU KPK di Jakarta Selatan, Selasa (16/2).
Mantan ketua MK itu menyebutkan bahwa standar prosedur selama ini masih menjadi perbincangan untuk mengatur undang-undangnya agar kewenangan penyadapan tidak disalahgunakan.
Terlepas dari kontroversi tarik ulur revisi Undang-Undang KPK, Mahfud MD mengapresiasi langkah-langkah KPK dalam melakukan penyadapan.
"Selama ini target yang disadap memang bisa menjadikan bukti tindakan korupsi, dan bukti tersebut tidak terbantahkan," ujarnya.
Melalui pencapaian sejarah prestasi KPK dalam hal penyadapan tersebut, maka ia menegaskan bahwa jika aturan penyadapan KPK dihilangkan, fungsi KPK bisa mati. Selain itu, ia juga menyoroti dalam hal pembentukan dewan pengawas KPK.
"Kalaupun nantinya ada dewan pengawas, tugasnya cukup mengawasi, jangan jadi pintu pertama," katanya menegaskan.
Namun, revisi tersebut sepatutnya berdasarkan atas hasil penelitian akademis, bukan karena penyesuaian dari golongan tertentu karena hasil akademis ada kesimpulan atau hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Seperti diketahui, dalam draf revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, juga dicantumkan soal pembatasan kewenangan penyadapan KPK yang tertera pada pasal 12A ayat (1) penyadapan dilaksanakan (a) setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan (b) izin tertulis dari Dewan Pengawas; (2) Pimpinan KPK meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan; (3) penyadapan paling lama 3 bulan terhitung izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama.