REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang penolakan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergulir. Sejumlah kelompok masyarakat menyuarakan penolakan dengan melakukan aksi unjuk rasa.
Seperti yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi. Mereka mendesak penolakan terhadap Revisi UU KPK yang bakal dibahas dalam sidang Paripurna di Gedung DPR RI pada Kamis, 18 Febuari 2016 mendatang. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi pun mengajak para pimpinan KPK untuk bersama-sama menyatakan sikap menolak RUU tersebut.
"Kalau para pimpinan sebagai pelaksana UU KPK saja menolak, mengapa revisi tetap harus dilanjutkan DPR? Untuk itu, para Pimpinan KPK harus mengirimkan surat resmi yang menyatakan keberatan dan menolak terhadap rencana pembahasan RUU KPK dengan Substansi yang melemahkan KPK," kata koordinator aksi Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Egi di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (16/2).
Penyampaian aspirasi itu pun disambut oleh Pimpinan KPK. Ketua KPK, Agus Rahardjo mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya sudah mengirimkan surat resmi penolakan pada 4 Februari 2016 lalu.
"Sikap kami pun jelas. Di banyak kesempatan kami sampaikan bahwa pimpinan yang baru dan seluruh jajaran KPK menolak dilakukannya Revisi UU KPK dalam beberapa hari ke depan," tegasnya.
Ketika ditanya mengenai usaha Pimpinan KPK untuk bertemu Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) dalam membahas RUU tersebut, Agus mengaku sudah meminta waktu.
"Kami dijadwalkan segera setelah Presiden pulang dari Amerika. Belum tahu jadwal tepatnya," ujarnya.
Selain mendesak para pimpinan KPK, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga mendesak Presiden RI Jokowi untuk menolak membahas RUU KPK bersama DPR dan menariknya dalam prolegnas 2015-2019. Mereka juga mendesak Badan Legislasi untuk mempertimbangkan dampak RUU KPK terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.