REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mukhtar mengatakan ada empat poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kejanggalan.
Zainal mengatakan empat poin itu bertentangan dengan pernyataan bahwa revisi UU bertujuan untuk memperkuat KPK. Justru menurutnya secara substansi empat poin revisi tersebut malah melemahkan KPK.
Poin pertama, soal badan pengawas. Ini artinya akan ada badan yang memiliki kewenangan besar di atas KPK. Padahal logikanya, jika badan pengawas memiliki kekuasaan yang besar, maka badan ini pun harus diawasi oleh lembaga yang lebih tinggi lagi.
"Nah, nanti siapa yang mengawasi badan pengawas?," katanya saat ditemui di Kantor PP Muhammadiyah, Jalan CikDitiro, Yogyakarta, Ahad (14/2).
Kedua, mengenai peraturan penyadapan. Padahal tidak ada satupun lembaga penegak hukum di Indonesia yang aktivitas penyadapannya diatur sedemikian rupa.
Menurutnya, jika seperti itu adanya, maka akan lebih adil apabila pemerintah membuat aturan penyadapan untuk seluruh lembaga penegak hukum. Seperti polisi, TNI, dan satuan keamanan lainnya.
"Kenapa malah jadi UU KPK saja yang harus diperbaiki. Ini kan tidak logis," ujarnya.
Ketiga mengenai aturan penyidik dan penyelidik KPK yang harus berasal dari lembaga lain. Padahal, menurut Zaenal, meminjam petugas dari polisi atau kejaksaan jauh lebih tidak efektif. Pasalnya kedua lembaga tersebut sering mutung. Di sisi lain, sebagai lembaga penegak hukum, KPK juga boleh memiliki penyidik dan penyelidik sendiri.
Keempat, mengenai SP3 atau pencabutan status tersangka. Padahal dalam pembuktian kasus, KPK memerlukan dua alat bukti dengan keyakinan yang tinggi.
Berbeda dengan kepolisian, Zainal mengatakan jika KPK bisa mengeluarkan SP3, maka KPK seharusnya tidak memerlukan dua alat bukti dalam pembuktian kasus.
Ia sendiri menilai, revisi UU KPK disertai banyak kejanggalan. Salah satunya, peristiwa tukar guling antara pemerintah dan DPR. Dimana UU KPK yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah, malah diserahkan ke DPR. Begitu pula sebaliknya dengan rancangan teks amnesti yang seharusnya jadi kewenangan DPR, malah diserahkan pada eksekutif.
"Revisi UU KPK ini bisa melemahkan KPK," ucapnya.
Jika KPK sudah lemah, maka yang dikorbankan adalah masyarkat. Namun begitu, ia menilai masyarakat masih memiliki waktu utuk menyelamatkan KPK. Di antaranya dengan mendorong presiden agar tidak menandatangani surat persetujuan untuk membahas revisi UU KPK.
Selain itu, masyarakat juga dapat mendorong, agar parpol di DPR bisa beriskap, sebagai mana PKS, Gerindra, dan Demokrat saat ini. Sementara itu, Mantan Ketua KPK, Busro Muqoddas menambahkan, SP3 bisa menjadi bisnis ladang bisnis bagi oknum-oknum tertentu.
"Badan Pengawas KPK juga tidak akan efektif, jika disusupi oleh orang-orang politik," jelasnya.