Jumat 12 Feb 2016 17:07 WIB

2.000 Anak Indonesia Berada di Penjara

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Achmad Syalaby
Penjara Anak (ilustrasi)
Penjara Anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Wakil Ketua Pengadilan Bale Bandung, DS Dewi mengungkapkan sebanyak 2000 anak menghadapi permasalahan dengan hukum dan saat ini tengah berada di penjara. Jumlah tersebut terbilang banyak. Karena itu, sistem peradilan pidana anak yang mengedepankan restoratif justice diharapkan bisa mengatasi masalah agar anak tidak dipenjara. 

“Kalau melihat data statistik, kurang lebih sebanyak 2000 anak ada di dalam penjara. Jumlah pidana anak tersebut masih banyak,” ujarnya kepada wartawan di Lombok Barat usai kegiatan Asia Pacific Mediation Forum ke-7, Jumat (12/2). 

Ia menuturkan, jumlah tersebut lebih banyak sebelum ada sistem peradilan pidana anak yang disahkan pada 2012 mencapai 6000 anak. Selain itu, jika dilihat dari total seluruh anak Indonesia yang berada di bawah 18 tahun sampai 12 tahun ke atas sebanyak 60 juta jiwa. Maka jumlah 2000 relatif masih sedikit yang berkonflik dengan hukum. 

Menurut dia, keberadaan sistem peradilan pidana anak sangat bermanfaat karena penyelesaian masalah anak yang berhadapan hukum dilakukan dengan pemulihan tanpa melalui penjara. “Pendekatan dilakukan secara musyawarah mufakat baik dari pelaku korban masyarakat dan aparat penegak hukum mencari solusi,” katanya. 

Dia membantah adanya tudingan rendahnya kemampuan hakim dalam melakukan mediasi. Dia menjelaskan, 1600 hakim anak telah memiliki surat keputusan Mahkamah Agung (MA) yang telah dilatih termasuk mengikuti program sertifikasi hakim anak. Semua kemampuan hakim akan meningkat dalam penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. 

Sektor Koordinator proyek EU-UNDP SUSTAIN, Fatahillah mengklaim berdasarkan penelitian tidak terbukti adanya hakim yang memanfaatkan pendekatan mediasi untuk berbuat nakal. Hakim yang bertindak melakukan mediasi memiliki kemampuan dan pemahaman. Selain itu, terdapat kode etik mediator yang mengantisipasi tidak adanya lobi atau main mata. 

“Tema mediasi dimulai 2003, ada kekhawatiran dari publik adanya loby dan main mata, karena membolehkan pertemuan terpisah. Namun selama ini berdasarkan riset yang dilakukan tidak terbukti terjadi,” ungkapnya. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement