REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menjadi polemik di masyarakat.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti curiga revisi UU KPK merupakan bentuk ketidaksukaan individu atau kelompok melalui DPR.
"Dilihat dari awal, isu perubahan itu karena adanya beberapa tangkap tangan anggota dewan. Bisa saja kan berdasar hal tersebut lalu digulirkan RUU ini," kata Bivitri di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (11/2).
Bivitri mengatakan proses legislasi yang didasarkan ketidaksukaan terhadap sebuah lembaga akan berujung pada pelemahan lembaga tersebut.
Selain itu, selama ini publik diberikan wacana mengenai kelemahan KPK yang akan menjadi poin-poin di dalam revisi UU KPK.
Revisi UU tersebut, lanjut dia, akan menjadi blunder bagi presiden yang selama ini selalu mengatakan akan memperkuat KPK.
"Kalau tidak jelas, lebih baik dihentikan saja. Jangan pernah dilanjutkan," ujarnya.
Ia mencontohkan seperti kewenangan penerbitan surat penghentian penyidikan atau SP3. Ia menilai, SP3 itu tidak dibutuhkan oleh KPK. Menurut dia, kewenangan SP3 dikhawatirkan akan merusak independensi dan loyalitas KPK.
"Kewenangan SP3 itu sering dijadikan komoditas dan diperjualbelikan oleh lembaga penegak hukum lain," katanya.
Selain itu, dengan adanya kewenangan SP3 dikhawatirkan akan menimbulkan kompromi politik. Pihak-pihak yang terlibat kasus korupsi, lanjut dia, memiliki kesempatan untuk memengaruhi pimpinan KPK.
"Seperti dengan janji akan memberikan keuntungan jika kasus tersebut dihentikan," ujarnya.