Rabu 10 Feb 2016 06:29 WIB

Permisif Elite Politik dan Mundurnya Peradaban Indonesia

Red: M Akbar
Ubedilah Badrun
Foto:

Dalam masyarakat permisif orang berbuat apa saja boleh. Masyarakat yang serbaboleh ini oleh Roderic C. Meredith (1998) digambarkan sebagai curse of western society (kutukan masyarakat barat). Permissive Society, menurut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth). Tentu saja, pandangan ini membuat kehidupan sosial ataupun bernegara kehilangan panduan.

Nalar permisif yang kemudian membentuk perilaku permisif telah melahirkan kehidupan sosial yang kehilangan semacam kualitas hidup bersama. Ketenangan, kebahagiaan hidup, keteraturan hidup bersama (social order) dalam sebuah masyarakat permisif tidak hanya sebuah mimpi, tetapi sebuah ilusi.

Masyarakat permisif pernah ada pada episode amazigh atau orang bebas (free man) barbarian pada abad ke 5 (467 M). Jika pada abad ke-21 ini di Indonesia tumbuh subur permisivisme, kita sesungguhnya dalam perspektif peradaban sedang berjalan mundur ratusan tahun, seperti kembali ke abad ke-5, tetapi dengan simbol dan perwajahan baru.

Nalar permisif dan permisivisme adalah rangkaian yang saling terkait yang saling memberi kontribusi bagi lahirnya masyarakat permisif. Tidak ada masyarakat permisif tanpa nalar permisif. Dalam konteks politik, ketika nalar permisif telah melekat pada elite politik kita, ini adalah indikator berbahaya bagi eksistensi sebuah bangsa.

Thomas Lickona (1991) mengingatkan tentang faktor permisivisme dan kaburnya panduan moral (hilangnya keyakinan terhadap eternal truth) sebagai faktor hancurnya sebuah negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement