REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Pantai Kuta Lombok, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (9/2).
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi mengingatkan peran penting media massa dalam menumbuhkan optimisme bangsa.
Namun, dia menyayangkan, masih maraknya pemberitaan di media massa yang lebih mengutamakan unsur sensasional atau kehebohan sesaat. Contohnya, sebut Presiden, ada judul berita yang menegaskan, Indonesia akan hancur atau kepemimpinan nasional yang tak layak.
Hal demikian, kata mantan gubernur DKI Jakarta itu, makin diperparah dengan kecenderungan tendensius. Misalnya, berita-berita yang mencampuradukkan opini dengan fakta. Tak ketinggalan, komentar pengamat yang justru terkesan menghakimi figur-figur publik.
"Kalau berita-berita, judul-judul yang seperti itu kita terus-teruskan, yang muncul adalah distrust. Ketidakpercayaan," ucap Presiden Joko Widodo dalam pidato HPN 2016 di Mataram, NTB, Selasa (9/2).
Padahal, Presiden menegaskan, dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta globalisasi kini, yang dibutuhkan adalah modal kepercayaan trust. Bila modal itu tak ada, maka arus investasi dan uang masuk ke Indonesia akan terkendala. Investor asing justru ragu untuk menanam modalnya.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menyindir kebebasan pers apabila dimaknai secara mutlak. Dia menyebutkan, dulu sebelum era Reformasi 1998, pemerintah menekan-nekan pers. Baik melalui ancaman pemberedelan atau sensor.
Sehingga, berita yang disiarkan hanya menyenangkan penguasa. Namun, hal sebaliknya terjadi belakangan ini. Pangkalnya, menurut Presiden Jokowi, logika industri pers menekan-nekan profesionalisme insan jurnalis.
"Tapi sekarang kan kebalik. Pers justru yang menekan-nekan pemerintah. Tetapi, yang menekan pers sekarang siapa? Menurut saya, ya industri pers sendiri karena persaingan," jelas dia.
Untuk itu, dunia pers didorong agar mampu menjaga sikap independen sekaligus mencerdaskan bangsa. Logika jangka pendek semisal mengejar rating media perlu dipertimbangkan. Perlu ruang yang lebih luas untuk menanamkan rasa kebersamaan nasional melalui pemberitaan.
"Industri pers memang harus berkompetisi dengan rating ya. Tapi mestinya sebagian kecil dari waktu bisa diberikan pada hal-hal tadi (memupuk nasionalisme). Saya maunya di prime time," katanya menegaskan.