REPUBLIKA.CO.ID, “Saya ingin setiap butir nasi yang dimakan juga menjadi butiran pahala untuk saya,”
Kalimat itu keluar dengan sungguh-sungguh dari seorang pria dengan perawakan mirip penyanyi rap kenamaan Indonesia, Iwa K. Pemuda itu berpakaian seperti anak muda lainnya, bercelana jogger, kaos, sneaker, ditambah dengan aksesori topi yang dipakai terbalik.
Siapa yang menyangka, di balik dandanan ala barat itu, pria ini dengan keyakinan hati ingin hidup mengabdikan diri pada Islam. Ia ingin menjadi hamba-Nya yang memotivasi masyarakat lainnya lewat jalan yang ditekuninya.
Ricky Ricarvy Irawan (31 tahun) kini sibuk dengan profesi barunya. Bertempat di pinggir jalan Lapangan Ciujung, Kota Bandung, ia mulai berniaga. Ricky membuka tempat makan bernama ‘Joni Abadi’. Warung makan ini menjajakan makanan berat untuk mengisi perut langganannya.
Menu warung tegal (warteg) yang akrab di lidah masyrakat Indonesia menjadi pilihannya. Mulai dari orek tempe, sambal goreng kentang, telor dadar cabe merah, hingga aneka tumisan khas warteg tersedia di warung ini.
Namun, bukan makanan yang membuat warteg ini terkenal. Rasa dan harga cenderung sama dengan warteg lainnya yang menjamur di Kota Bandung. Ada misi lebih mulia yang ingin Ricky raih dari sekadar mencari rezeki dari berdagang.
Melalui media warteg, Ricky ingin berdakwah. Ia ingin memotivasi umat Muslim untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Ia pun membuat konsep warteg yang berbeda dengan yang lainnya.
Pria beranak satu ini menawarkan makan gratis di wartegnya dengan satu syarat. Dengan membaca ayat-ayat Alquran sebanyak dua juz, siapa pun bisa makan gratis apa pun dan nambah berapa kali pun.
“Reward saja untuk teman-teman yang suka mengaji. Kalaupun yang tidak suka, bisa jadi motivasi untuk beribadah kapan pun di mana pun,” kata Ricky kepada Republika.co.id, Rabu (3/2).
Konsep ini diusungnya bukan dalam rangka ingin mencari popularitas atau memperbanyak pelanggan. Ia ingin setiap langkah dan usahanya ditujukan untuk Sang Pemilik Ruh. Bukan hanya mencari rezeki, Ricky berharap semakin banyak ibadah dan pahala dari setiap langkah hidupnya.
Saat ini, orang bisa berlama-lama di depan layar komputer atau telepon seluler. Berjam-jam waktu mereka habiskan bermain games atau sekadar memperbarui status di media sosial. Ini jauh berbeda saat beribadah. Banyak sekali yang merasa berat saat membuka kitab sucinya untuk membaca aya-ayat penuh makna tersebut.
“Saya ingin memfasilitasi agar semakin banyak melantunkan ayat suci, tidak tergerus budaya barat yang membuat kita lupa pada pegangan hidup sesungguhnya,” ujarnya.
Syiar Islam di Balik VW
Pribadi Ricky yang ramah dan murah senyum membuat pembelinya tak menyangka kisah sebelum ia merintis warteg Joni Abadi. Usaha warteg kecil-kecilan itu tak sebanding dengan bisnisnya dulu.
Terlahir dari keluarga pebisnis, Ricky ikut meneruskan usaha warisan orang tuanya di bidang oleh-oleh khas Bandung. Omzetnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Ia bahkan memiliki outlet sendiri dengan beberapa karyawan.
Rezeki memang tidak ada yang tahu. Usaha yang sudah membuatnya hidup dengan materi berlebih pun sirna. Kebangkrutan melanda hingga semua benda-benda miliknya harus dijual.
Ia sadar kebangkrutannya merupakan teguran dari Allah SWT. Musibah itu datang atas kesalahannya selama ini yang memakan harta riba karena modal bisnis diperoleh dari bank konvensional yang menanamkan sistem bunga.
“Ini ujian dari Allah yang mau ngingetin saya kalau harta itu sewaktu-waktu bisa diambil, apalagi harta itu bukan dari jalan yang halal,” katanya.
Setelah bangkrut pada Maret 2015, ia bergabung bersama komunitas Pemuda Hijrah diMasjid Al Latif. Bersama komunitas tersebut, ia memperbanyak ilmu agama untuk membenahi diri.
Pria asli Kota Bandung itu kemudian mulai mengikuti program Monday (Minimal One Juz Per Day) alias membaca satu juz setiap hari. Hal itu tidak memberatkannya, justru menjadi hal positif.
Sambil menyibukkan diri di komunitas, Ricky memikirkan jalan selanjutnya untuk mencari rezeki demi menutupi utang-utangnya. Dan, pertolongan Allah datang kepada siapa pun yang memintanya. Bergabung dengan komunitas ini justru menjadi pintu rezeki baru bagi ayah satu anak ini.
Ricky biasa membantu komunitasnya menyiapkan makanan saat ada pengajian. Lama-kelamaan, ia diberi kepercayaan oleh seorang investor yang juga kawannya di komunitas untuk membuka bisnis kuliner.
Ricky pun mulai membuka usaha warteg di Masjid Al Latif. Penghasilan tak seberapa, katanya, tapi terasa berkah buatnya dan keluarga.
Berbeda dengan warteg biasanya, warteg Ricky berkonsep food truck. Ia berjualan di atas mobil Volkswagen yang dipinjamkan investornya. Ricky menyulap mobil buatan Jerman itu menjadi rak menu makanan. Ia membangun tenda di samping mobilnya untuk memudahkan pengunjung bersantap.
Ricky mengatakan, konsep ini dibuat agar masyarakat kelas menengah atas tak segan untuk mencicipi makannya. Sehingga, warteg pun tidak lagi menjadi stereotip makanan masyarakat kelas bawah.
Meski banyak stiker tertempel di mobil, tak ada logo-logo yang bernafaskan Islam. Bahkan, ayat-ayat Alquran sekali pun. Tidak ada pula spanduk yang menyebutkan konsep makan gratis jika mengaji dua juz.
Bukan karena tidak ingin orang lain tahu. Menurutnya syiar Islam tidak perlu ditunjukan secara langsung. “Biar dari mulut ke mulut saja. Jadi, bisa orang lain juga mengajak ibadah. Walaupun entah tujuannya benar-benar mengaji atau makan gratis, itu Allah yang akan nilai,” ujarnya.
Setiap hari, ada saja yang mengaji di wartegnya. Tidak hanya demi makan gratis, tetapi juga untuk memberikan suasana berbeda di warteg itu. Ricky tidak mempermasalahkan keuntungan yang diperolehnya dari berjualan. Yang terpenting baginya adalah hidupnya kini lebih baik dan usahanya berkah. n c26, ed: friska yolandha