REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Lembaga Perlindungan Anak Nusa Tenggara Barat memperkirakan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di daerah itu masih cukup tinggi pada 2016.
Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Joko Jumadi di Mataram, Kamis (4/2), mengatakan masih tingginya angka kekerasan terhadap anak dan perempuan itu didasari masih lemahnya edukasi di masyarakat.
Salah satu contoh, dari data kepolisian 2015, yang diterima LPA NTB, 30-40 persen kasus kekerasan anak dan perempuan tertinggi terjadi di Kabupaten Dompu dari total 10 kabupaten/kota di NTB. "Kebanyakan ini kekerasan asusila, seperti pelecehan seksual terutama kepada anak-anak di bawah umur," katanya.
Selain, edukasi di masyarakat, kurangnya peran dan perhatian pemerintah daerah terhadap masalah tersebut, juga sering memicu terjadinya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Meskipun, dalam beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang sudah sampai di pengadilan, jarang para hakim memutuskan pidana bagi para pelaku selama lima tahun, melainkan tujuh tahun, 10 tahun, bahkan 15 tahun penjara.
"Padahal sudah cukup berat ancaman pidananya. Tetapi, rupanya itu tidak cukup, maka perlu ada sosialisasi dan edukasi secara masif agar kasus kekerasan yang menimpa anak-anak tidak lagi terjadi di NTB," jelasnya.
Menurut dia, LPA NTB sendiri mulai tahun 2016 akan bersama-sama pemerintah provinsi akan melakukan upaya-upaya pencegahan melalui edukasi dan sosialisai kepada masyarakat, bukan hanya kepada masyarakat di perkotaan melainkan hingga desa-desa dan sekolah untuk bersama-sama menanggulangi masalah tersebut.
"Jadi ini salah satu bentuk upaya kami agar peristiwa kekerasan yang menimpa anak-anak bisa diminimalisir bila perlu tidak ada," ujarnya.