REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Undang-undang terorisme dinilai belum dapat memayungi pemberantasan terorisme secara keseluruhan. Namun tetap saja pemerintah harus berhati-hati dan jangan menimbulkan masalah baru dalam revisi UU tersebut.
"Kita harus kembali pada realita bahwa masih ada sinyalemen program deradikalisasi yang digagas Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) belum mampu mengakselerasi hakikat toleransi atas perbedaan dan penghargaan kepada sesama," ujar pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati kepada Republika.co.id, Rabu (20/1).
Untuk itu, di sinilah perlunya terus membangun komunikasi politik dan antar-budaya yang simultan antara pemerintah, tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Deradikalisasi harus didasari dengan pencarian embrio masalah yang menjadi penyebab atau pemicu terjadinya teror.
Seyogyanya, kata Susaningtyas, harus ada kesepakatan antara badan-badan intelijen mengenai obyek deradikalisasi mana yang harus diprioritaskan. Dengan begini, hal tersebut pun dapat diatasi secara maksimal. Ia mengatakan dukungan regulasi atau perundang-undangan adalah sebuah keniscayaan bagi tercapainya keberhasilan deradikalisasi ini.
"Untuk itu bukan hal yang mustahil UU Antiteror Nomor 15 Tahun 2003 direvisi agar lebih maksimal menjadi payung hukum bagi penanggulangan, bahkan pencegahan terorisme dan pelibatan masyarakat," katanya.
Intelijen, kata dia, merupakan pengumpul data domain dimana data utamanya akan menjadi masukan bagi pengguna akhir untuk BIN yakni Presiden. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana koordinasi antarintelijen dan aparat penegak hukum.