Rabu 20 Jan 2016 15:12 WIB

PPATK Temukan Aliran Dana untuk Terduga Teroris dari Australia

 Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Trasaksi Keuangan (PPATK), Muhammad Yusuf saat memberikan keterangan pers terkait penghapusan Indonesia dari status Grey Area oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) di kantor PPATK, Jakarta, Jumat (
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Trasaksi Keuangan (PPATK), Muhammad Yusuf saat memberikan keterangan pers terkait penghapusan Indonesia dari status Grey Area oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) di kantor PPATK, Jakarta, Jumat (

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya aliran dana teroris yang bersumber dari seseorang di Australia.

Namun PPATK belum bisa memastikan apakan aliran dana itu digunakan untuk aksi teror di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari lalu.

"Empat staf PPATK di Australia melaporkan ada warga Australia bernama L yang mentransfer uang ke rekening istrinya yang kebetulan dari Nusa Tenggara," kata Kepala PPATK Dr Muhammad Yusuf di Surabaya, Rabu (20/1).

Yusuf melanjutkan, uang tersebut kemudian dialirkan ke sebuah yayasan, namun sebagian uangnya juga diberikan kepada seorang terduga teroris berinisial H. "Kebetulan H adalah terduga teroris yang memasok senjata dari Filipina ke Indonesia," katanya.

Menurut dia, sejumlah rekan H yang menerima senjata itu ada yang berangkat ke Suriah. "Jadi, patut diduga ada aliran dana dari Australia ke Indonesia, tapi kaitan dengan bom Sarinah (peristiwa 14 Januari) perlu ditindaklanjuti (dengan pemeriksaan)," katanya.

Yusuf mengaku ia sudah mengusulkan kepada Menko Polhukam untuk menangkal terorisme dengan merevisi UU Kepabeanan. "Saya sudah menyurati Menko Polhukam bahwa untuk menangkal terorisme itu tidak hanya dengan merevisi UU Terorisme, tapi UU Kepabeanan juga perlu direvisi," katanya.

Ia menyatakan revisi penting untuk UU Kepabeanan antara lain dengan memberikan kewenangan kepada Polri untuk menangani kasus penyelundupan di wilayah kepabeanan.

"Kasus kepabeanan selama ini ditangani petugas Bea dan Cukai, padahal tidak semua kepabeanan memiliki petugas Bea dan Cukai, karena itu Polri bisa melengkapi keterbatasan Bea dan Cukai itu," jelasnya.

Ia menyebut PPATK menemukan bea kepabenan sekitar Rp800 miliar yang tidak dilaporkan ke kas negara. "Itu karena petugas Bea dan Cukai memiliki keterbatasan sumber daya manusia," katanya.

Apalagi, katanya, Polri juga memiliki kemampuan penyelidikan dan penyidikan terkait barang selundupan yang terkait dengan jaringan terorisme atau sindikat narkoba.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement