REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Pengamat ekonomi syariah dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Wasilatul Fallah Rangkasbitung Encep Khaerudin menilai hukuman mati akan dapat mencegah maraknya kasus korupsi.
"Pemerintah harus mengamandemen terlebih dahulu Undang-undang korupsi dengan minimal kerugian uang negara di atas Rp1 miliar akan bisa dikenakan hukuman mati," katanya saat dihubungi di Lebak, Selasa (19/1).
Menurut dia, penerapan hukuman mati sudah dilaksanakan di negara Tiongkok, sehingga bisa mengeleminasi pelaku korupsi tersebut. Sebaliknya, Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak efektif untuk memberantas korupsi.
"Kami yakin jika pelaku korupsi dihukum mati maka kesejahteraan masyarakat bisa terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Ia menyatakan korupsi dapat meruntuhkan perekonomian negara sehingga menimbulkan kesengsaraan dan juga penderitaan rakyat. "Kita harus melawan korupsi karena korupsi musuh bersama yang harus diberantas hingga akar-akarnya," katanya.
Saat ini, pelaku korupsi di Tanah Air sudah cukup memprihatinkan karena status pelakunya memiliki strata pendidikan tinggi dan memiliki jabatan yang terhormat di lingkungan pemerintahan/legislatif.
Para pelaku korupsi sudah menjalani proses hukum di pengadilan, bahkan sebagian lainnya sudah dieksekusi menjalani hukuman terdiri dari berbagai profesi, seperti kepala daerah, menteri, legislatif, politik, Jenderal Kepolisian, penegak hukum, akademisi, perbankan, pejabat satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dan pengusaha swasta.
Belum lama ini, kasus korupsi juga terjadi di lingkungan DPRD Banten terkait suap pendirian Bank Banten, lalu KPK juga menetapkan tersangka beberapa anggota DPR RI terlibat penyuapan pembangunan infrastuktur di Indonesia bagian timur.
"Saya kira kasus korupsi di Indonesia cukup dahsyat karena bisa menghancurkan ekonomi makro dan juga merugikan keuangan negara sehingga bis menimbulkan kemiskinan," katanya.