REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Usulan revisi Undang-Undang Terorisme yang dilontarkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso bisa menjadi jawaban atas masih tidak efektifnya kepolisian dalam memberantas aksi terorisme di Indonesia. Tidak efektifnya polisi dalam memberantas terorisme dapat terlihat dalam tragedi teror yang melanda kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1).
Pengamat hukum Andri W. Kusuma menyatakan, kepolisian dalam memberantas teroris masih terikat aturan KUHAP yang selama ini menjadi 'kitab suci' korps baju coklat tersebut. "Polisi gagal mencegah para pelaku, bom Thamrin biar pun sudah ada info intelijen dari BIN," katanya di Jakarta, Selasa (19/1).
Dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme itu vide Pasal 26 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibutuhkan formalitas-formalitas yang wajib dipenuhi kepolisian. Misalnya, harus ada dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup, penyidikannya mesti mendapatkan perintah terlebih dahulu dari pengadilan negeri setempat, sehingga memang sangat menyita waktu.
Menurut dia, ketika polisi tidak dapat menjangkau pencegahan terorisme, harus ada instrumen negara lainnya yang mengisi kekurangan itu. Padahal, lanjut dia, tindak pidana terorisme itu dalam menyiapkan aksinya kerap melakukan pergerakan intelijen, antara lain dalam perekrutan, penggalangan, perencanaan dan baru aksi yang semunya berada “di bawah layar” sehingga kepolisian sulit membuktikannya.
Sehingga sangatlah jelas dalam penanganan tindak pidana terorisme tidak hanya penegakkan hukum oleh polisi yang dibutuhkan, tetapi justru lebih kental pencegahannya, yaitu dalam bentuk “deteksi dini dan cegah dini”.
Menurut Andri, saat ini dilihat dari eskalasi global, terorisme terutama ISIS pergerakannya makin luas dan kondisi Indonesia sangat rawan dilihat dari sisi geografis dan demografis di mana banyaknya pintu masuk ke negara ini. Hal itu didukung masih banyak sel-sel kelompok teroris yang hidup di Tanah Air.
Untuk itu, penumpasan terorisme hanya dapat dilawan dengan operasi intelijen yang efektif dan dijalankan secara profesional. "Nantinya BIN harus lebih berperan utamanya dalam hal deteksi dini dan cegah dini. Sehingga intelijen juga harus memiliki kewenangan untuk menangkap. Sama seperti di negara lain, Malaysia dan Singapura."