REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reshuffle kabinet merupakan sebuah keniscayaan politik. Setelah satu tahun lebih kabinet bekerja, agaknya sudah cukup bagi Presiden Joko Widodo menarik kesimpulan mana menteri yang berintegritas dan mampu bekerja, termasuk kadar kepatuhan para menteri pada cita-cita pembangunan bangsa.
"Selain berfokus pada menteri-menteri bidang politik, hukum, dan keamanan (Polhukam), Jokowi juga perlu mempertimbangkan mengganti sejumlah menteri bidang ekonomi dan pembangunan manusia," kata Ketua Setara Institute Hendardi kepada Republika.co.id, Rabu (30/12).
Menurut dia, di bidang Polhukam, Jaksa Agung adalah salah pejabat setingkat menteri yang harus diganti. Selain integritasnya tercoreng dalam kasus Rio Capella, HM Prasetyo dinilai juga kontradiktif dalam pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM).
Hendardi mengatakan, jelang reshuffle, Prasetyo juga tampak menggunakan isu Setya Novanto sebagai pemoles citra dirinya sebagai pejabat yang responsif. "Menteri Rini yang juga kontroversial sebaiknya diganti karena sama sekali tidak memperoleh dukungan politik parlemen," katanya. Sekalipun Rini dianggap profesional, tetapi itu saja tidaklah cukup.
Dia mengatakan, dukungan politik dalam sistem politik presidensial tidak murni ini tetap menjadi variabel utama bagi keberhasilan kinerja seorang menteri. Jokowi perlu memeriksa detail prestasi para menteri, jangan hanya mengacu pada rating survey dan pemberitaan. Pasalnya, banyak menteri Jokowi yang tidak bekerja optimal tapi melakukan pencitraan 'overdosis' seolah-olah bekerja.
Jokowi, kata Hendardi, tidak perlu takut dan terpengaruh dengan intimidasi politik partai-partai pendukung yang cemas kehilangan kursi. Di tahun kedua, posisi Jokowi semakin kuat di hadapan partai pendukung karena semua pola dan kecenderungan sudah terpetakan. Aspek kinerja harus jadi variabel utama dalam merombak kabinet.