REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie mengatakan lembaga yang dipimpinnya masih tidak populer di masyarakat. Padahal, DKPP sudah terbentuk selama tiga tahun, namun belum banyak orang yang mengetahui keberadaan DKPP.
Hal itu berbeda dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang terbentuk pada periode DPR kali ini (sebelumnya Badan Kehormatan), begitu menyita perhatian publik pasca menangani kasus dugaan pelanggaran etik politikus Partai Golkar Setya Novanto.
"Tiga tahun memperkenalkan DKPP, tidak ada yang tahu DKPP. Ini MKD seminggu (sidang, masyarakat langsung tahu)," ujarnya dalam acara "DKPP Outlook 2016 Refleksi dan Proyeksi" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (28/12).
Padahal menurutnya, kedua lembaga tersebut sama-sama menangani kasus pelanggaran etik. Hanya bedanya, pelaku pelanggaran yang diproses oleh dua lembaga tersebut, yakni DKPP terhadap penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan KPU. Sementara MKD menangani dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPR RI.
Meskipun begitu, Jimly mensyukuri pendidikan hukum di masyarakat saat ini sudah lebih baik, dimana sidang MKD menunjukkan ke masyarakat jalannya persidangan kode etik. Sebab selama ini, masyarakat Indonesia lebih banyak disajikan persidangan perkara hukum dibandingkan etika.
"Mari kita syukuri. Ini pendidikan massive gratis, jadi masyarakat tahu. Kita makin maju," ujar Jimly yang disambut tawa Wakil Ketua MKD Junimart Girsang, yang berkesempatan hadir di acara tersebut.
Lantaran itu juga, ke depan perlu diperbaiki lembaga penegak etik di Indonesia. Hal ini untuk memperbaiki sistem penegakkan etik ke depan.
"Termasuk evaluasi DKPP, lembaga-lembaga penegak etik lain, termasuk KY," kata mantan Ketua MK tersebut.