REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak membangun preseden, yurisprudensi melalui putusannya. MKD dinilai tidak melakukan penuntasan terhadap setiap kasus Setya Novanto.
"Dua dugaan MKD tidak menangani presenden penangan secara tuntas," ujar Ronald di kantor ICW, Jakarta, Selasa (22/12).
MKD tidak menjelaskan bagaimana prilaku dan tindakan yang dilakukan Setya Novanto dalam melanggar kode etik. Sepanjang dua kasus yang didugakan kepada mantan ketua DPR, yang pertama hanya melakukan teguran lisan tapi tidak dijelasakan dalam masalah etik apa yang dilanggar.
Selain itu, dalam masalah dugaan pencatutan nama kepala negara, sidang langsung ditutup saat Novanto mengundurkan diri. "Ada dua ketidakpatutan menjalankan dan memnfaatkan konflik kepentingan, ini belum ada putusan," jelasnya.
Padahal Novanto terbukti melanggar kode etik dengan memanfaatkan kedudukan. Hanya saja, MKD tidak jelas memberikan putusan sehingga kemudian hari tidak ada pembatasan diri untuk menggunakan kepentingan dalam melakukan hubunganyang tidak pantas dilakukan oleh anggota DPR.