REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyarankan pemerintah menyesuaikan kontrak lama PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang sistem kontrak, tetapi pemberian izin usaha.
"Itu harus diatur agar UU diimplementasikan dan tidak bertentangan dengan kontrak lama. Kontrak lama disesuaikan supaya bisa diinternalisasikan ke kebijakan baru, di situ sedikit disesuaikan," kata Mahfud, Jumat (18/12).
Untuk melakukan hal tersebut, kata dia, pemerintah harus menyalahi kontrak lama PTFI karena isi UU tersebut memang menyalahi kontrak. Di situlah, tutur Mahfud, pentingnya menyesuaikan keduanya agar secara hukum benar, tetapi UU juga ditegakkan.
Pada prinsipnya, kata dia, UU tersebut juga melarang kontrak kerja antara perusahaan dan negara sehingga dia berharap pemerintah menunjuk perusahaan BUMN untuk bekerja sama dengan PTFI
"Harus diselesaikan, UU tidak memperbolehkan, tetapi punya alasan perjanjian lama. Tentu kita mengikuti UU kita, tetapi tidak boleh menafikkan kontrak yang sudah ada," tutur Mahfud.
Menurut dia, pihaknya memahami kesulitan pemerintah dalam menangani kontrak Freeport karena kontrak lama yang mengikat. Akan tetapi, dia meminta mencari solusi yang sebaik-baiknya. Untuk kemungkinan pembatalan kontrak, dia mengaku tidak mengetahui hal tersebut dan menyerahkan keputusan sepenuhnya pada pemerintah.
"Tidak tahu. Terserah Pak Sudirman. Yang saya tahu dua-duanya ada kesalahan dibidang masing-masing," ujar dia.
Ia menjelaskan kontrak lama PTFI dan pemerintah pada tahun 1991 menyandera pemerintah karena berisi perpanjangan kontrak harus segera dipenuhi pemerintah serta peraturan yang berlaku untuk kontrak adalah peraturan saat kontrak dibuat.
Meski kontrak tersebut dibuat berlandaskan undang-undang saat itu, menurut Mahfud, pemerintah dapat mengatur transisi agar terjadi peralihan agar kontrak sesuai dengan peraturan yang berlaku sekarang.
"Jadi, harus dengan izin usaha. Kalau izin usaha artinya dia mendapat izin dari negara. Negara mengendalikan, bukan seperti sekarang negara disejajarkan dengan perusahaan," tutur dia.