REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan mulai Rabu (16/12) malam, Setya Novanto tidak lagi menjabat sebagai Ketua DPR RI. Hingga saat ini belum ada keputusan siapa yang menduduki kursi Ketua DPR.
Ada dua pendapat yang mengemuka soal pengganti Setya Novanto. Sebagian pihak menilai pengganti Setya Novanto harus diserahkan ke Partai Golkar, karena hal itu sesuai dengan UU MD3.
Sementara sebagian lainnya menilai perlu dilakukan pengocokan ulang komposisi pimpinan DPR, yang artinya mengharuskan UU MD3 direvisi terlebih dahulu.
Menanggapi hal itu, Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan partainnya enggan terlibat dalam perdebatan soal pimpinan DPR. Ia pun menyerahkan sepenuhnya ke DPR.
"Kami tidak sedang birakan itu. Kalau Setya Novanto mundur atau dimundurkan, konsekuensi logisnya adalah ritual pergantian di DPR, kita hormati saja," ucapnya.
Seperti diketahui, Setya Novanto akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua DPR, jelang pembacaan putusan sidang MKD.
Berdasarkan Pasal 87 ayat (3), UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), apabila seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya maka, pimpinan lain menetapkan salah seorang dari mereka untuk melaksanakan tugas pimpinan DPR yang berhenti.
Selain itu, pada Pasal 87 ayat (4), pengganti pimpinan DPR yang berhenti, berasal dari fraksi politik yang sama. Namun, sebagian pihak menilai dengan mundurnya Setya Novanto tidak bisa dibaca Ketua DPR yang baru akan menjadi mutlak milik Golkar.
Hal ini lantaran besarnya 'badai' politik yang tercipta dari kasus pelanggaran etika tersebut, justru membuka wacana pergantian pimpinan DPR RI secara keseluruhan.