Jumat 11 Dec 2015 10:33 WIB
Sidang MKD

Soal Kasus Setya Novanto, Pakar Hukum: Proses Dulu Rekamannya

Rep: RR Laeny Sulistyawati/ Red: Bilal Ramadhan
:  Ketua DPR Setya Novanto usai mengikuti Sidang perkara dugaan pelanggaran kode etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) secara tertutup di Kompleks Parlemen, Senanyan, Jakarta, Senin (7/12).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
: Ketua DPR Setya Novanto usai mengikuti Sidang perkara dugaan pelanggaran kode etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) secara tertutup di Kompleks Parlemen, Senanyan, Jakarta, Senin (7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UII, Mudzakir menilai, untuk mengungkap kasus keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto dengan PT Freeport Indonesia, aparat penegak hukum sebaiknya terlebih dahulu menuntaskan pihak yang menyebarkan rekaman percakapan antara mereka.

Menurutnya, ada tiga tahap aparat hukum untuk mengungkap misteri kasus yang menyeret Setya Novanto, PT Freeport hingga pengusaha Riza Chalid tersebut. ‘’Pertama, diselidiki siapa yang merekam percakapan itu dan pihak yang menyebarkannya kepada publik. Mereka harus bertanggung jawab,’’ katanya kepada Republika.co.id.

Ia menegaskan, rekaman percakapan yang direkam kemudian diperdengarkan kepada publik. Sehingga membuat banyak pihak di dalamnya mendengar dan kebakaran jenggot. Kedua, polisi atau aparat penegak hukum lainnya memeriksa pihak-pihak yang terlibat dengan kontrak PT Freeport Indonesia.

Jadi, kata dia, tidak hanya nama-nama seperti Setya, presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri atau nama-nama lain yang disebut dalam rekaman tersebut.

‘’Siapapun yang terlibat dalam kontrak PT Freeport harus diperiksa,’’ ujarnya.

Termasuk Freeport yang mengirimkan surat meminta audiensi dengan anggota DPR. Padahal, kata dia, para wakil rakyat tidak memiliki wewenang memperpanjang atau menghentikan kontrak.

Ketiga, kata dia, polisi harus memproses pernyataan Riza Chalid yang mengatakan Joko Widodo bisa diturunkan jika tidak memperpanjang kontrak.  Bahkan Jokowi diancam akan diboikot visanya jika pergi ke Amerika Serikat yang merupakan negara asal perusahaan PT  Freeport Indonesia.

‘’Karena persoalan ini  bukan hanya saham tetapi ketahanan negara. Tak hanya polisi dan komisi pemberantasan korupsi (KPK) yang terlibat, badan intelijen negara (BIN) juga harus memeriksa,’’ katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement