Jumat 11 Dec 2015 06:37 WIB

Usut Kasus Permufakatan Jahat, Kejagung-KPK Bisa Kerja Sama

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Bayu Hermawan
Kejagung
Foto: Republika/Amin Madani
Kejagung

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) tengah menyelidiki kasus dugaan pemufakatan jahat dalam perpanjangan kontrak PT Freeport, yang menyeret nama Ketua DPR Setya Novanto.

Kejaksaan Agung menyebut ada dugaan tindakan permufakatan jahat dalam yang dilakukan Setnov dengan pengusaha Riza Chalid.Permufakatan jahat ini didasarkan pada Pasal 15 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Meski dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat negara telah coba dilakukan oleh Kejaksaan Agung, tapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap bisa memainkan peranannya dalam kasus ini.

Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri, KPK bisa berperan dalam konteks supervisi. Dalam artian, KPK turut memastikan proses di Kejakgung berjalan profesional dan tidak ada penyimpangan serta penyelewengan.

Sehingga nantinya proses tersebut bisa berjalan sesuai KUHP bahkan hingga bisa ke Pengadilan, ke KUHAP.Hal ini tidak terlepas dari kekhawatiran jika nantinya kasus dugaan permufakatan jahat yang dilakukan Setnov itu justru malah mandeg atau berhenti di tengah jalan.

''Karena itu, supaya hal itu tidak terjadi, maka perlu banyak yang me'melototi' proses kasus ini. Sehingga prosesnya bisa berjalan dengan baik,'' ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (10/12).

Ronald memberi contoh, kerjasama yang bisa dilakukan antara KPK dengan Kejakgung dapat berupa melakukan telaah bersama terhadap konstruksi kasus permufakatan jahat, bagaimana rangkaian-rangkaian konstruksinya dan tindakan-tindakan yang diambil.

Bentuknya bisa berupa diskusi dan konsultasi antara dua lembaga penegak hukum tersebut.Terlebih, menurut Ronald, KPK sebelumnya pernah menggunakan konstruksi permufakatan jahat ini saat mengusut kasus Anggodo dan Ari Muladi pada 2011 silam.

Pada saat itu, Anggodo bersama Ari Muladi secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan permufakatan jahat untuk mencoba menyuap pimpinan dan penyidik KPK lebih dari lima miliar rupiah terkait kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Majelis hakim Tipikor pun sempat menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan dena 250 juta rupiah kepada Anggodo.

''Waktu itu, KPK dengan cepat melakukan penyeledikan dan penyidikan. Jadi pengalaman KPK ini bisa dibagikan kepada Kejakgung, supaya proses kasus tersebut bisa betul-betul berjalan profesional dan cepat. Supaya tidak ada 'istilahnya' di-SP3-kan,'' ujar Ronald.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement