REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan bidang usaha bioskop dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Permohonan agar bidang usaha bioskop dikeluarkan dari DNI ini telah disampaikan langsung oleh PPFI kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Ketua Umum PPFI, Firman Bintang, mengatakan permintaan ini disampaikan karena ingin membuat industri perfilman nasional semakin lebih baik. "Permintaan ini semata-mata demi kemajuan industri perfilman nasional dan perekonomian nasional pada umumnya," katanya di Jakarta, Kamis (3/12).
Firman menjelaskan DNI merupakan implementasi dari prinsip transparansi agar investor dapat dengan mudah mengetahui bidang-bidang usaha yang tertutup ataupun yang terbuka dengan persyaratan yang dapat dimasuki oleh penanam modal asing. Ia mengajukan beberapa pertimbangan mengapa usaha bioskop harus dikeluarkan dari DNI.
Merujuk UU No.33/2009 pasal 51-56, Firman menjelaskan, di sana telah diamanatkan pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan fasilitas bagi pengembangan dan kemajuan perfilman nasional. Saat ini, jumlah produksi film nasional terus mengalami peningkatan dari segi kuantitas dan terlihat tidak sebanding dengan perkembangan jumlah bioskop.
"Dari 34 propinsi di Indonesia, bioksop baru hadir di 25 propinsi, atau masih ada 26 persen propinsi yang belum memiliki bioskop. Dari 93 kota dan 412 Kabupaten yang ada di Indonesia, bioskop baru hadir di 36 kota besar, atau masih ada 93 persen Kabupaten Kota yang tidak mempunyai bioskop," ujarnya.
Berdasarkan data terkini di PPFI, Firman mengungkap, Indonesia baru memiliki 942 layar dari 198 bioskop. Padahal negara maju seperti Cina dan Amerika Serikat, memiliki perbandingan bioskop dan penduduknya sebesar 1:30.000. Sedangkan negara berkembang seperti Thailand, perbandingan layar dan penduduknya 1:50.000. "Dengan demikian, paling tidak, Indonesia harus membangun kurang lebih 4.000 layar bioskop baru, untuk mencapai titik ideal," katanya.