Senin 30 Nov 2015 19:16 WIB

Pimpinan KPK Terkejut DPR Lanjutkan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002

 PLT Ketua KPK, Johan budi (kedua kanan) memberikan keterangan kepada media saat gelar barang bukti uang Dolar Singapura hasil Opersi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/10).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
PLT Ketua KPK, Johan budi (kedua kanan) memberikan keterangan kepada media saat gelar barang bukti uang Dolar Singapura hasil Opersi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK, Johan Budi terkejut dengan disetujuinnya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015 sebagai inisiatif DPR.

"Saya cukup terkejut mendengar bahwa revisi UU KPK masuk Prolegnas 2015, padahal beberapa waktu lalu ada kesepakatan yang disampaikan presiden melalui pembantunya, bahwa revisi UU UU tidak dilakukan pada tahun ini," katanya di Gedung KPK, Senin (30/11).

Pada Jumat (27/11), rapat Baleg bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM Yasonna Laoly menyetujui bahwa pemerintah mengambil alih RUU Tax Amnesty menjadi usul inisiatif pemerintah. sebagai gantinya, revisi UU KPK yang awalnya merupakan usul pemerintah dijadikan usul inisiatif DPR.

Johan melanjutkan, revisi UU KPK semestinya dilakukan untuk memperkuat KPK, bukan untuk melemahkan KPK. Ia pun mengatakan Presiden Jokowi pernah menyuarakan hal yang sama.

"Jadi kalau semangat revisi ini adalah untuk memperlemah tentu harus ditolak, apalagi sempat beredar draft revisi UU KPK yang diterima oleh teman-teman media, dimana ada sejumlah pasal yang intinya memperlemah KPK," ujarnya.

Ia mengungkapkan, dalam usulan draft revisi UU KPK pada Oktober lalu, setidaknya ada 18 butir perbedaan antara konsep revisi yang diajukan oleh fraksi-fraksi DPR dengan UU 30 tahun 2002 yang menjadi landasan hukum KPK saat ini.

"Misalnya KPK tidak boleh lagi punya kewenangan tuntutan, KPK umurnya hanya dibatasi 12 tahun. Ini kan slogannya memperkuat, tapi kalau isi draf revisinya seperti itu artinya kan memperlemah, kalau menurut saya kalau draft revisi itu yang dilakukan memperlemah," jelasnya.

Johan pun menyerahkan revisi tersebut ke Presiden Joko Widodo dan DPR, sebab menurutnya jika lembaga legislatif dan eksekutif sudah sepaham, maka revisi UU itu akan tetap dilakukan.

"Tapi kan ada publik yang mengawal itu," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement