Selasa 24 Nov 2015 09:43 WIB

Jadi Piloting Desa Ramah Perempuan, KDRT di Desa Ini Terus Menurun

Satu keluarga warga Desa Golo Ndele, Maggarai TImur, NTT
Foto: Istimewa
Satu keluarga warga Desa Golo Ndele, Maggarai TImur, NTT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Desa Golo Ndele, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), dahulu sangat tinggi. Sekitar empat tahun lalu, perempuan yang ditampar, dipukul dan dimaki menjadi pemandangan yang biasa. 

Hal itu diakui Kepala Desa Golo Ndele, Remigius Tanda saat berbincang dengan Republika.co.id di Jakarta, Senin (23/11). Desa yang berada di kaki bukit itu, mulai dibentuk pada 2011 lalu. Saat itu, kekerasan terhadap perempuan sangat sering terjadi. "Bahkan sampai pernah ada kasus suami membunuh istrinya," ujar Remigius.

Salah satu penyebab tingginya KDRT karena masih lekatnya pengaruh adat dan budaya yang melihat perempuan setelah dinikahi ibaratnya 'dibeli'. "Disana perempuan itu orang luar, laki-laki orang dalam. Dengan adanya belis (mas kawin), itu diterjemahkan sebagai perempuan dibeli," katanya. 

Namun kini, kondisi tersebut sudah berubah drastis. Karena itulah, desa Golo Ndele menjadi salah satu piloting program Desa Ramah Perempuan (DRP) yang digagas Konsorsium PT Global Concern dan Komite Pemantau Legislatif (Kopel) atau disingkat KGCK. Ada enam desa seluruhnya yang menjadi piloting program ini. Desa lainnya adalah Desa Borokanda dan Rando Tonda di Kabupaten Ende,  serta Desa Pon Ruan dan Desa Golo Ndele di Kabupaten Manggarai Timur. (Baca Juga: Enam Desa di NTT Digadang Jadi Desa Ramah Perempuan).

Dengan menjadi DRP, kini kaum lelaki tak lagi memandang rendah pekerjaan perempuan yang mengurus rumah tangga. Karena sebelumnya, dia mengatakan, kaum pria memandang perempuan yang bekerja di rumah adalah orang malas. "Yang rajin itu bekerja di luar, berkebun dan lainnya. Kalau kerja rumah tangga itu orang malas, padahal kerja rumah tangga itu lebih banyak," ujarnya.

Menurunnya angka KDRT di desa ini, karena desa pun telah membuat peraturan desa (perdes) di antaranya para pelaku kekerasan akan dikenai sanksi. Desa ini juga menjadi DRP karena telah memberikan porsi besar kepada kaum perempuan untuk berpartisipasi. 

Remigius mengatakan, saat ini kaum perempuan sudah banyak yang aktif sebagai perangkat desa. Ada yang memegang posisi kepala urusan (kaur) di desa, serta menjadi pengurus PNPM. "Bukan hanya laki-laki lagi yang bisa jadi perangkat desa," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement