Rabu 25 Nov 2015 00:07 WIB

Belajar dari Perempuan Miskin Indonesia Timur

Rep: c39/ Red: Andi Nur Aminah
Maria Aran, dukun bayi tradisional dari Desa Pailelang, Kabupaten Alor, NTT
Foto: Istimewa
Maria Aran, dukun bayi tradisional dari Desa Pailelang, Kabupaten Alor, NTT

REPUBLIKA.CO.ID, Perempuan-perempuan Indonesia timur, khususnya di Nusa Tenggata Timur (NTT) sebelumnya selalu dijadikan nomor dua di dalam rumah tangga dan di dalam kehidupan masyarakat. Namun, kini mereka sudah berkembang dan turut mengambil peran di dalam kehidupan masyarakat, meskipun hanya dengan biaya pas-pasan.

“Di daerah kami perempuan-perempuan dianggap nomor dua. Saya harap dengan pengalaman ini, dan sudah didiskusikan di sini, nilai-nilai peradaban ini sudah harus berubah,” Kata Bupati Alor, Amon Djobo dalam Diskusi Nasional tentang Desa Ramah Perempuan yang diselenggarakan Konsorsium Global Consern dan Kopel (KGKC) di Jakarta, Selasa (23/11) belum lama ini.

Di Kabupaten Alor, ada dua desa yang menjadi piloting Desa Ramah Perempuan (DRP), yaitu Desa Wolwal dan Desa  Alor Besar. Dua desa tersebut merupakan desa dampingan KGKC. NGO ini, memberikan sejumlah pengetahuan dan pelatihan terhadap perempuan-perempuan miskin di desa tersebut. 

“Kalau bisa Global Consern tidak hanya satu atau dua tahun, harus lima tahun minimal. Kalau tidak begitu, bukan jadi desa ramah perempuan nantinya, tapi desa kacau perempuan,” ujar Amon.

Berawal dari upaya program KGKC tersebut, sejumlah perempuan inspiratif di daerah NTT pun 'diorbitkan'. Sosok perempuan miskin yang menjadi inspirasi dari Kabupaten Alor, salah satunya adalah Maria Aran. 

Karena kesulitan ekonomi, Maria dan enam saudaranya hanya tamatan SD. Selama hidupnya, Ia menikah dua kali. Suami pertamanya meninggal setelah dia memiliki lima anak. sedangkan suami keduanya, menelantarkannya setelah memberinya seorang anak. 

Sejak ditinggalkan suaminya tersebut, Maria mulai bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga sendirian. 

Meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan bekerja, Maria menyempatkan waktunya  untuk tetap mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok di desanya. Setelah Maria melihat banyak ibu hamil yang tidak mendapat pemeriksaan kehamilan dan anak-anak yang tidak mendapat pemeriksaan rutin di desanya, Maria dan seorang temannya akhirnya berinisitafi untuk mendirikan posyandu, yang diketuainya sejak tahun 1989.

Kini dengan usianya yang sudah berada diujung 60-an tahun, Maria melaksanakan kegiatan posyandu sebulan sekali. Pada bulan lalu, bahkan ada sekitar 54 anak balita dan bayi yang datang ke posyandu-nya untuk ditimbang. Usahanya tersebut, terbukti kini di desanya tidak ada yang menderita gizi buruk lagi.

“Saya mungkin miskin, tapi sangat bahagia jika dapat membantu orang lain,” kata Maria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement