REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menyarankan Presiden Joko Widodo melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke polisi. Hal ini untuk memastikan bahwa presiden benar-benar tidak pernah meminta jatah saham kepada PT Freeport melalui Novanto.
“Seharusnya Jokowi laporkan itu karena kalau tidak, bisa ada asumsi liar: jangan-jangan memang ada kongkalikong,” kata Abdullah saat dihubungi Republika, Senin (23/11).
Saran Abdullah sejalan dengan langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah melaporkan pengacara Eggy Sudjana dalam kasus pencemaran nama baik.
Ketika itu, Januari 2006, Eggy menuduh SBY menerima mobil mewah bermerek Jaguar dari pengusaha Harry Tanoesudibyo. Tuduhan itu langsung disikapi secara hukum oleh SBY dengan melaporkan Eggy ke Polda Metro Jaya.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya menetapkan Eggy bersalah dan menjatuhi hukuman pidana penjara selama 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Banding atau kasasi yang diajukan Eggy pun ditolak oleh Mahkamah Agung.
“SBY laporkan Eggy Sudjana ke polisi karena dibilang menerima mobil. Jokowi masih punya waktu untuk melakukan itu (mencontoh SBY) karena nama baiknya dicemarkan,” saran Abdullah.
Kasus dugaan pencatutan nama presiden mencuat setelah Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Sahid melaporkan Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Dalam laporannya, Sudirman menyebut Novanto telah mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali dengan pihak PT Freeport untuk membahas perpanjangan kontrak operasi PT Freeport di Papua.
Sudirman juga menyerahkan bukti transkrip pembicaraan antara Novanto, Direktur Utama PT Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsoeddin, dan seorang pengusaha.
Transkrip itu menyebutkan Novanto meminta jatah saham kepada Ma’roef sebesar 11 persen untuk presiden dan 9 persen untuk wakil presiden. Padahal menurut Sudirman, presiden dan wakil presiden tidak pernah meminta jatah saham kepada PT Freeport.