REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis menyebut, maraknya praktik korupsi di Indonesia dikarenakan sistem pemerintahan masih memungkinkan tindak pidana tersebut. Todung mengatakan, jika sebuah sistem bersih, tentu celah untuk melakukan korupsi menjadi kecil.
"Indeks persepsi korupsi Singapura tinggi karena sistemnya memang tidak memungkinkan untuk korupsi. Kenapa Indonesia indeksnya selalu di bawah? Karena sistemnya memang memungkinkan," kata Todung dalam sebuah diskusi di Medan, Sabtu (21/1).
Ketua Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) itu menyebutkan, sistem yang bobrok tersebut terlihat dalam konstelasi politik Indonesia, misalnya saat Pilkada. Tahapan Pilkada, seperti kampanye, pemilihan hingga pascapemilihan di pandang bukan dalam konteks konstelasi, melainkan investasi.
"Investasi pasti ada return of investment. Dan bukan hanya kembali atau break event point (BEP), tapi harus menguntungkan. Jadi tata kelola pemerintahan itu sudah dilihat sebagai perusahaan yang harus menghasilkan dividen untuk pribadi atau kelompoknya," jelasnya.
Todung pun menilai, korupsi di Indonesia sudah sangat endemik dan sistemik. Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan yang telah rusak akibat dibajak alias dikuasai koruptor. "Pembajakan terhadap semua proses tata kelola pemerintahan dilakukan oleh penguasa yang sering berkolusi dengan pengusaha," kata Todung.
Demoralisasi, menurut Guru Besar Hukum di Melbourne University ini hanya merupakan salah satu yang merusak sistem. Namun, permasalahan ini tentu tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberi ceramah tentang moralitas. Todung mengatakan, berbagai pihak harus terlibat aktif untuk memperbaiki sistem, termasuk komitmen kuat dari para penegak hukum.
"Perubahan sistem mesti dibuat sedemikian rupa sehingga ruang untuk korupsi semakin kecil atau hilang," katanya. "KPK masih kita butuhkan karena korupsi itu endemik."