REPUBLIKA.CO.ID,PALEMBANG -- Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Selasa (17/11) kembali menyidangkan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT Bumi Mekar Hijau atas perbuatan terbakarnya lahan hutan tanaman industri (HTI) perusahaan tersebut yang terjadi 2014.
Pada sidang yang dipimpin hakim ketua Pharlas Nababan dilakukan pemeriksaan saksi ahli dari tergugat PT BMH. Saksi ahli yang memberikan keterangan pada persidangan tersebut mantan hakim agung Arbijoto.
Usai persidangan, penasihat hukum Kementerian LHK Umar Suyudi kepada wartawan menjelaskan, ia optimistis majelis hakim akan mengabulkan gugatan terhadap PT BMH tersebut. “Kita merujuk pada gugatan terhadap PT Kallista Alam yang diputus 29 Agustus 2015 dan telah memiliki kekuatan hukum tetap,” katanya.
PT Kallista Alam adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Pada gugatan ini, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi PT Kallista Utama, dan menghukum perusahaan tersebut haruskan membayar ganti rugi materil dan pemulihan lingkungan sebesar Rp 366 miliar karena terbukti membakar lahan di lahan gambut Rawa Tripa.
Menurut Umar Suyudi pada perkara kasus PT Bumi Mekar Hijau ada kemiripan dengan gugatan perkara Kementerian LHK pada PT Kallista Utama. “Kementerian LHK yakin majelis hakim akan mengabulkan gugatan terhadap PT BMH yang lahannya terbakar seluas 20.000 di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Byuku pada 2014,” katanya.
Dalam persidangan walau ada sejumlah ahli meragukan gugatan Kementerian LHK karena tidak memenuhi unsur kesalahan dan juga unsur kerugian, Umar Suyudi tetap yakin majelis hakim akan mengabulkan gugatan tersebut karena ada sejumlah dalil bersumber dari sejumlah ahli hukum lingkungan hidup dan juga ada penghitungan unsur kerugian dari lembaga penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB).
Kementerian LHK menggugat PT Bumi Mekar Hijau atas perbuatan melawan hukum terhadap dugaan pembakaran lahan di areal seluas 20.000 hektare pada 2014 di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan. Akibat perbuatannya tersebut, negara mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp 2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp 5,2 triliun dengan total gugatn Rp 7,8 triliun.