REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Keempat wilayah di Jabar, memiliki kasus kekerasan yang cukup tinggi. Yakni, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Purwakarta.
Karena itu, keempat daerah itu menjadi sasaran Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang digelar oleh Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Barat.
"Empat daerah itu, memiliki jumlah pengiriman buruh migran terbanyak dan memiliki kasus kekerasan yang cukup tinggi," ujar Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Barat, Neni Kencanawati, kepada wartawan belum lama ini.
Neni mengatakan, peserta kampanye ini kebanyakan adalah pelajar. Karena, pihaknya ingin memberikan pemahaman tentang bahaya kekerasan pada perempuan dan anak. Kampanye ini, dilaksanakan di empat wilayah sebagai sampling yang harus diikuti kota/kabupaten lainnya di Jawa Barat.
Menurut Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat Netty Prasetyani, ada beberapa jenis kekerasan yang harus diketahui pelajar. Yakni, kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang sering terjadi dalam keluarga.
Selain itu, ada juga kekerasan bullying yang kebanyakan di lingkungan sekolah dan human Trafficking. Bahkan, baru-baru ini sering terjadi kekerasan dalam pacaran.
"Ada yang penting diketahui, empat wilayah terlarang untuk dipegang oleh orang asing bahkan orang yang dikenal namun mencurigakan, antara lain daerah muka, sekitar dada, diantara kedua belah kaki dan daerah belakang," katanya.
Menurut Netty, kekerasan itu terjadi karena bukan akibat sedikitnya orang baik. Tetapi, justru orang baik itu diam dan membiarkan kekerasan terjadi.
"Maka kita harus memperbanyak orang baik yang memiliki komitmen untuk bergabung menyelesaikan berbagai masalah kekerasan," katanya.
Netty berharap, masyarakat Jawa Barat dapat menjadi masyarakat yang sesanti "silih asah asih asuh". Yakni, dengan tidak tinggal diam melihat berbagai bentuk kekerasan. Kalau melihat dan merasakan bentuk kekerasan maka lakukan tolak, lawan, laporkan dan hentikan sekarang juga.
Netty mengatakan, kondisi sekarang ini tidak mencerminkan adanya semangat perjuangan. Karena, nyatanya masih ada kekerasan dan pelecehan terhadap anak. Hal ini perlu diantispasi dengan adanya upaya perlindungan dan pengasuhan yang baik dari orangtua pada anak-anak mereka.
Namun, kata dia, jika dikatakan sebagai keadaan darurat, maka harus disepakati secara bersama baik di tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten. Karena, pada saat darurat di tingkat Provinsi tanpa diikuti pemahaman yang sama di tingkat Kota/Kabupaten maka tidak akan hadir gerakan yang berefek domino.
Di tingkat Provinsi, kata Netty, hanya bersifat koordinatif. Yakni, memberikan stimulus dan menghimbau tetapi tindakan yang khusus ada di tingkat kota/kabupaten. Sehingga, darurat ini harus disepakati dari jumlah kuantitasnya atau dari jenis kekerasannya.
"Karena hari ini bukan saja dari laki-laki dewasa terhadap anak perempuan tetapi kekerasan oleh laki-laki dewasa kepada laki-laki (penyimpangan seksual),” katanya.
Dikatakan Netty, ketika kota/kabupaten merasakan pemahaman yang sama, maka darurat bukan saja sebagai status tetapi harus ada tindak lanjut contohnya membuat satgas perlindungan anak di setiap desa dan kelurahan.