REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, menjadi momentum bersejarah. Pada tanggal itu, Indonesia berhasil mengusir tentara sekutu yang ingin merebut Surabaya, Jawa Timur.
Demikian penuturan pemerhati sejarah Jakarta, Alwi Shahab, Selasa (11/11). Abah Alwi, demikian ia biasa disapa merawikan, beberapa hari setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, datanglah utusan dari negara Barat. Mereka mengumandangkan agar jangan sampai ada pergolakan dan perlawanan. Inggris dan Amerika kemudian tidak ingin Indonesia merdeka. Mereka ingin agar Indonesia tetap pada status quo.
"Tentara sekutu kemudian didatangkan pada 25 September. Kapal pengangkut pasukan bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Mereka berasal dari negeri India. Ada yang beragama Sikhisme, Islam, dan ada juga yang berasal dari Suku Gurka," kata dia.
Sebagian dari mereka dikirim ke Surabaya. Pemimpin mereka adalah pasukan Inggris. Perlawanan terjadi secara terus-menerus. "Pejuang Indonesia tidak suka dengan kehadiran sekutu," ujar Abah Alwi.
Para pemuda ketika itu kesal dengan ulah pemilik hotel itu yang tidak mengindahkan seruan proklamasi yang menandakan Indonesia merdeka dari penjajahan. Mereka, menurut Abah, bahkan berlomba-lomba untuk merobek bendera tersebut.
"Bendera Belanda berwarna merah, putih, dan biru dirobek oleh pejuang Indonesia, Koesno Wibowo, yang berkibar di Hotel Oranye. Pada masa penjajahan Jepang, hotel tersebut bernama Yamato. Kini, sudah berganti nama menjadi Majapahit. Letaknya di Jalan Tunjungan No 65 Surabaya," tutur pria kelahiran Jakarta, 79 tahun silam itu.
Tidak sampai di situ, Abah Alwi menjelaskan, perlawanan masih terus terjadi hingga menewaskan pimpinan pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal Mallaby, di Jembatan Merah, pada 30 Oktober 1945, sekitar pukul 20.30 WIB.
"Tak diketahui siapa yang menembaknya," kata Abah Alwi. "Yang jelas Mallaby ketika itu melewati daerah yang dikuasai pejuang Indonesia. Kematiannya membuat tentara Inggris marah. Dikirimlah pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh."
Eric, masih kata Abah Alwi, mengeluarkan ultimatum agar masyarakat tidak melakukan perlawanan. Mereka diminta harus menyerah dengan mengangkat tangan dan menyerahkan senjata yang dimiliki. "Batas terakhir untuk menyerah adalah pada 10 November. Jika pada tanggal itu tidak juga menyerah maka pasukan sekutu akan menyerang," imbuh dia.
Ternyata para pejuang Indonesia mengabaikan seruan sekutu. Pahlawan di Surabaya, Bung Tomo, mengumandangkan perjuangan melawan sekutu. Dia bahkan mengumandangkan takbir, “Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar.”
Wartawan senior Republika itu melanjutkan, para pejuang dari kaum santri dan masyarakat umum menyerang tentara sekutu. Di saat perlawanan terjadi, pasukan sekutu yang beragama Islam bertanya-tanya kepada komandannya, mereka bangsa Indonesia ini beragama apa. Kemudian dijawab bahwa mereka beragama Islam.
"Tentara sekutu yang beragama Islam itu kemudian menghentikan perlawanan. Mereka bahkan berbalik ikut bergabung dengan tentara pejuang Indonesia. Mereka tidak mau diperintah untuk melawan saudara seiman," kata Abah mengisahkan.
Pria yang menjadi wartawan sejak 1960 itu menuturkan, para tentara Inggris yang beragama Islam dari India kemudian menetap bersama warga lokal. Mereka bahkan menikah dengan wanita lokal dan mempunyai keturunan.
Ini, kata Abah, terjadi di Jakarta dan Surabaya. Di Surabaya, mereka kebanyakan tinggal di belakang rumah sakit Dr Ramelan, berdekatan dengan Jalan Jenderal Ahmad Yani.
"Saya masih ingat ketika tinggal di Kwitang dulu sering bertemu mereka. Bekas tentara Inggris itu membawakan makanan kaleng dan biskuit. Semuanya dibagikan kepada warga sekitar. Mereka kerap mengetuk pintu rumah sekitarnya. Kemudian mengajak penghuni rumah shalat berjamaah di masjid sekitar," kata Abah Alwi memaparkan.
Sebagian dari mereka bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka berasal dari Suku Pattan. "Asal daerahnya ada di perbatasan antara India dan Afghanistan. Muslim India kerap menggunakan marga Khan di akhir nama mereka."