Rabu 11 Nov 2015 16:05 WIB

'Pengadilan Peristiwa 1965 di Belanda Berpotensi Memecah Belah Bangsa'

Rep: C15/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi inspektur upacara Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Selasa (10/11).   (Republika/Wihdan)
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi inspektur upacara Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Selasa (10/11). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani menilai pengadilan rakyat Internasional terkait dugaan pelanggaran HAM 1965 berpotensi memecah belah bangsa. Kasus itu mestinya tak gegabah dibawa ke kancah Internasional, pemerintah baiknya konsekuen dengan mengusut tuntas sendiri.

Arsul mengatakan, dengan adanya gugatan yang dilayangkan para penggiat HAM di Den Hag bisa berpotensi memecah belah bangsa. Sebab, pemerintah sendiri belum bisa meluruskan sejarah terkait hal itu. Maka bisa bisa perbedaan pendapat dan fakta bisa memecah belah bangsa.

"Jika forum pengadilan tersebut mengandung hal-hal yang menyalahkan pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu terkait dengan ekses G30S-PKI tersebut maka itu akan berpotensi memecah belah elemen-elemen bangsa kita," ujar Arsul saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (11/11).

(Baca juga: JK Sindir Pelanggaran HAM Belanda)

Arsul mengatakan baiknya pemerintah saat ini terbuka untuk membuka fakta sejarah. Ini kewajiban pemerintah untuk bisa meluruskan sejarah. Karena tak bisa dipungkiri baik dari pihak keluarga jendral maupun pihak korban penganiyayan mempunyai fakta sejarah dan bukti tersendri atas kejadian 1965.

Pengadilan internasional ditujukan bagi pemerintah Indonesia, khususnya di bawah pemerintahan Soeharto. Pengadilan peristiwa 1965 digagas para aktivis HAM. Mereka ingin membuktikan bahwa ketika itu benar-benar terjadi pelanggaran berat HAM.

(Baca juga: JK: Pemerintah Tak Akan Minta Maaf pada Korban Tragedi 65)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement