REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden RI kedua, Soeharto, perlu pengkajian komprehensif oleh Kementerian Sosial. Pasalnya hal tersebut dapat memicu pro dan kontra di masyarakat.
Secara obyektif, sebagai Presiden dan pemimpin bangsa, harus diakui bahwa Soeharto telah berhasil memperbaiki dan meningkatkan pembangunan Indonesia dan memajukan kesejahteraan rakyat.
"Di era Orde Baru, masyarakat mengenal sejumlah program yang pro rakyat yang dilaksanakan oleh pemerintahan Soeharto," ujar salah satu tokoh Partai Golkar, Zainal Bintang kepada Republika.co.id, Senin (9/11) malam.
Program-program penuh manfaat yang digagas Soeharto diantaranya program keluarga berencana (KB), swasembada beras, beberapa bendungan dan irigasi atau waduk besar untuk menopang pertanian, jalan inpres, SD Inpres, sapi banpres, dan kredit candak kulak. Politik luar negeri di era Soeharto juga sukses dengan terbentuknya ASEAN yang dimotori Indonesia.
Namun memang, di sisi lain sistem pemerintahan orde baru cenderung otoriter alias tidak demokratis. Lawan politik Soeharto semua dibonzai. Media massa dan karya seni dikontrol, khususnya film dan teater yang bernada kritis pada pemerintah. Kegiatan kampus dijaga ketat, termasuk lembaga DPR dan partai politik diawasi. Tidak boleh vokal. "Orde baru adalah era represif, semua lawan politik dibungkam," ujar Zainal.
Namun alasan otoritarian dan menyimpang dari UUD 1945 tersebut hendaknya tidak dijadikan dasar bagi pihak yang kontra atas wacana pemberian gelar pahlawan nasional pada Sang Smiling Jenderal.
Menurut Zainal, apabila ada yang keberatan harus ada bukti dan dasar hukum jelas yang membuktikan adanya penyimpangan. Soeharto dipaksa turun oleh gerakan mahasiswa pada 1998. Namun hingga wafat pada 27 Januari 2008, Soeharto tidak pernah diadili dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan.