REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surat edaran Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) dinilai sudah mengekang kebebasan berpendapat di media sosial. Surat edaran tersebut pun dianggap akan membungkam demokrasi di Indonesia.
"Polisi sudah menjelma menjadi ABRI tahun 80 atau 90an yang menakutkan dan berhadapan dengan masyarakat sipil," ujar Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi kepada Republika.co.id, Kamis (5/11).
Padahal, menurut Uchok, berpendapat di media sosial adalah bagian dari proses kedewasaan rakyat. "Walaupun saling serang menyerang, sebetulnya bukan sedang menyebar kebencian tapi saling mengenal antara warga negara," kata dia.
Dalam proses saling serang-menyerang di media sosial, polisi dinilai mengambil kesempatan untuk mencari muka kepada Presiden RI Joko Widodo. "Media sosial sudah mulai berani melawan informasi tidak benar yang dikeluarkan pemerintah sehingga polisi ingin cari muka pada kekuasaan dan mengancam warga medsos," jelas Uchok.
Menurut dia, polisi tidak usah over acting mengeluarkan ancaman pada warga media sosial. Pasalnya pendapat ataupun pernyataan yang dikeluarkan masih dalam batas kewajaran. "Ini masih bagian yang wajar //kok// untuk berdemokrasi," kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, SE dengan Nomor SE/06/X/2015 telah diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia. Dalam salinan SE yang beredar di publik dari Divisi Pembinaan dan Hukum (Divbinkum) Polri, Kamis (29/10) tersebut disebutkan bahwa persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan HAM.
Kategori ujaran kebencian dalam SE itu sangat luas, diantaranya penghinaan, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, penyebaran berita bohong. Dalam SE itu, pencemaran nama baik juga dimasukkan dalam kategori ujaran kebencian.