REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDIP Effendi Simbolon menanggapi survei LSI yang menyebutkan Presiden Jokowi butuh menteri utama untuk membantu memimpin menteri-menteri di Kabinet Kerja. Menurut dia, keberadaan menteri utama itu akan melanggar konstitusi jika diberlakukan oleh presiden, dan hanya akal-akalan pihak tertentu untuk membuat gaduh suasana.
Namun demikian, kata dia, skenario menteri utama itu sudah terlihat muncul, mengingat peran Wakil Presiden yang mulai terpinggirkan. Ia mencontohkan, saat Presiden pergi ke AS beberapa waktu lalu, yang mengambil komando penangan kabut asap bukan Jusuf Kalla, tapi salah satu Menko yang muncul.
''Praktiknya sudah begitu (ada menteri utama). Fungsi wakil presiden sudah hampir nihil. Seperti yang kita lihat. Pertanyaannya Menteri Utama itu konstitusional gak,'' kata Effendi saat dihubungi Republika, Kamis (29/10).
Anggota Komisi I DPR itu menyayangkan wakil presiden tidak mengoptimalkan fungsinya. Padahal dalam pilpres, ia dipilih langsung oleh rakyat bersama Presiden. Ia menjelaskan, dalam sistem pemerintahan sudah diatur, dimana Presiden dibantu oleh wakil presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dalam survei LSI, alasan dibutuhkannya menteri utama adalah, merosotnya kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi di tahun pertamanya, terutama di bidang ekonomi, hukum, politik dan sosial. Hanya bidang keamanan yang dianggap cukup memuaskan.
Alasan selanjutnya adalah, memburuknya citra partai politik pendukung, yang disebabkan ditetapkannya mantan sekjen partai Nasdem, Dewie Yasin Limpo dari Partai Hanura, serta Dewan penasehat Presiden, OC Kaligis terkait kasus suap bansos.
Ketiga, belum solidnya kementrian, yang diwarnai dengan perselisihan terbuka antara para pembantu presiden. Terakhir, bertele-telenya tragedi asap yang tidak kunjung selesai. Namun Effendi mengelak empat alsan itu menjadi alasan diperlukannya menteri utama atau terpinggirkannya wakil presiden. '
'Faktor utamanya bukan karena itu. Memang pendelegasiannya tidak efektif. Kompetensi dari menteri yang dipilih diragukan,'' ujar dia.
Effendi menilai, kepemimpinan presiden yang menepikan posisi wakil presdien bisa berbahaya. Sebab, hal itu berpotensi menimbulkan konflik baru ditubuh pemerintahan. Seharusnya, lanjut dia, ketika presiden melakukan kunjungan ke luar negeri, secara konstitusi wakil presiden ambil alih peran kepala pemerintahan.
''Kalau seperti itu, tambah karut marut. Negara ini dikelola dengan tata kelola yang baik. Tidak semua ditangani satu orang,'' ujarnya.