REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA — Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, Adhyaksa Dault, menyoroti maraknya tindak kekerasan dan kriminal yang terjadi pada anak di bawah umur. Belum reda kemarahan kita terhadap kasus Angeline di Bali, baru-baru ini muncul kasus kejahatan anak yang tak kalah sadisnya terhadap bocah berusia 9 tahun yang ditemukan tewas di dalam kardus di Jakarta.
“Kita mendukung upaya menjadikan kejahatan terhadap anak sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Ini memang bukan kejahatan biasa, jadi penangganannya juga harus luar biasa. Masa depan bahkan nyawa anak menjadi taruhannya,” ujar Adhyaksa di sela-sela acara Orientasi Kepramukaan di kampus Universitas Cendrawasih, Jayapura, Papua, dalam keterangan tertulisnya Senin (19/10).
Di depan ratusan mahasiswa dan pramuka yang hadir, Adhyaksa Dault menegaskan penting dan mendesaknya sikap tegas terhadap para pelaku kejahatan anak. “Hukuman terhadap pelaku kejahatan anak di bawah umur saat ini maksimal 15 tahun. Saya kira perlu lebih berat lagi, kalau perlu hukuman mati,” tambah Adhyaksa Dault.
Menurut Adhyaksa, Gerakan Pramuka sebagai wadah pembentukan mentalitas anak wajib mendukung upaya-upaya menjaga masa depan dan nyawa putra-putri bangsa Indonesia. “Anak itu masa depan bangsa. Ini mungkin gagasan baru (kejahatan anak sebagai extraordinary crime), tapi keberadaannya sangat penting untuk menyelamatkan nasib anak bangsa kita. Kita harus mendukung bersama seluruh elemen bangsa agar anak-anak kita terlindungi,” ujarnya.
Menurut data yang ada, saat ini angka kekerasan dan kejahatan terhadap anak masih tinggi. Ketua Komisi Nasional Perlindungaan Anak, Aris Merdeka Sirait, sendiri ketika bertemu secara tidak sengaja dengan Adhyaksa Dault di Bandara Jayapura juga merisaukan fenomena ini.
Aris berharap agar seluruh elemen masyarakat ikut mendukung upaya menjadikan kejahatan anak sebagai extraordinary crime. “Masyarakat harus ikut mendukung ini. Kalau tidak, sia-sia nasib anak bangsa kita,” jelasnya.
Advertisement