REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai bela negara bukanlah bentuk aksi tapi melainkan sikap moral yang dianut masyarakat.
Selain itu, upaya Bela Negara sebenarnya lebih mengutamakan aspek kesukarelaan, ketimbang kewajiban. Menurutnya bela negar bukan sekedar masalah baris-berbaris, angkat senjata, ataupun pengunaan seragam militer.
''Bela Negara adalah soal pengakuan identitas, pengabdian, dan kemandirian tanpa reserve di segala lini seusai peran pengabdian profesi masing-masing,'' ujar kepada Republika.co.id, Kamis (15/10).
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengungkapkan, pihaknya berencana mendidik 100 juta kader Bela Negara. Pembentukan kader Bela Negara ini diharapkan bisa menumbuhkan rasa cinta Tanah Air masyarakat guna menghadapi berbagai bentuk ancaman yang dihadapi Indonesia.
Rencananya, Kemenhan akan melatih 4500 kader pembina Bela Negara yang akan ditempatkan di 45 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Khairul melanjutkan untuk keterlibatan warga terhadap upaya Bela Negara sebenarnya tidak bersifat wajib, namun lebih mengedepankan aspek kesukarelaan. Hal itu menurutnya terlihat dalam redaksional Pasal 9 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
''Disebutkan, warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam Bela Negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Mengapa kata hak didahulukan? Hal ini karena aspek kesukarelaan lebih diutamakan,'' ujarnya.
Selain itu, dalam upaya Bela Negara, rakyat juga dinilai tahu dan paham apa yang harus dilakukan jika Indonesia mengalami kondisi darurat.
''Rakyat tak perlu diajari bagaimana cara membela negaranya. Dalam kondisi darurat, dimana terdapat ancaman yang nyata, secara alamiah dan naluriah, rakyat akan berupaya menjaga dan mempertahankan dirinya,'' katanya.