REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dan Presiden sudah memutuskan untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang KPK di masa sidang berikutnya.
Di masa sidang yang akan berakhir akhir Oktober ini, DPR dan pemerintah akan fokus untuk menyelesaikan persoalan ekonomi. Namun, masa sidang selanjutnya di Bulan November tetap berada di tahun 2015. Artinya, pembahasan revisi UU KPK ini kemungkinan akan tetap dilakukan di tahun 2015.
Juru bicara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil muktamar Surabaya, Arsul Sani menegaskan, fraksinya di DPR akan tetap meminta pembahasan revisi UU KPK ini dilakukan tahun 2016 nanti.
Saat ini, memang belum ada pembicaraan di internal Badan Legislasi (Baleg) DPR terkait revisi UU KPK ini. PPP menganggap revisi UU KPK lebih tepat dibahas setelah pembahasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selesai dilakukan.
"Belum dibahas di Baleg, yang jelas PPP meminta agar tidak masuk di Prolegnas Prioritas 2015," tegasnya pada Republika.co.id, Rabu (14/10).
Arsul mengatakan, PPP tetap akan memertahankan pembahasan revisi UU KPK tidak masuk dalam prioritas 2015 adalah masih banyak draf RUU yang harus diselesaikan DPR di tahun sidang 2015 ini.
Saat ini masih ada 37 daftar RUU yang perlu dibahas dan diselesaikan karena sudah masuk dalam prolegnas prioritas. Kalau revisi UU KPK dimasukkan dalam daftar prolegnas prioritas tahun ini, beban RUU yang perlu diselesaikan akan semakin bertambah berat.
Selain itu, idealnya, pembahasan revisi UU KPK beserta kewenangan dan prosedurnya dilakukan bersama dengan RUU KUHAP serta RUU Polri dan Kejaksaan. Menurut anggota komisi III DPR RI ini, sebagai lex generalis seharusnya yang diselesaikan adalah KUHAP terlebih dulu, dibanding dengan revisi UU KPK, Polri atau Kejaksaan.
"KUHAP sebagai ‘lex generalis’ seyogyanya diperbaharui dulu, nah setelah itu, kewenangan dan prosedur baru yang akan direvisi dalam UU KPK baru dirumuskan," katanya.
Meskipun, kata Arsul, secara teknis pembahasan revisi UU KPK didahulukan masih tetap bisa. Menurut Arsul, ini hanyalah untuk membangun tertib perundang-undangan. Jadi, seharusnya UU yang ‘lex generalis’ atau UU Kelembagaan Penegak Hukum dibuat setelah pembahasan hukum pidana materiel dan hukum pidana formil (hukum acara).