REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso menilai, RUU Pengampunan Nasional akan kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi dan pidana perpajakan.
"Jadi kalau itu disahkan, terlalu banyak aturan perundang-undangan dan program-program kerja pemerintah sendiri yang akan saling bertabrakan. Ini mungkin akan memberikan sinyalemen yang kurang pas," kata Agus Santoso saat dihubungi, Jumat (9/10).
Sebelumnya, pada Selasa (6/10) lalu, sejumlah anggota dewan mengusulkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional untuk menjadi inisiatif DPR RI. Pasal 10 huruf (a) RUU tersebut berbunyi, "Selain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, orang pribadi atau badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana terorisme, narkoba, dan perdagangan manusia."
Dengan demikian, pelaku pencucian uang dan koruptor akan dengan leluasa menikmati pengampunan negara. Agus menegaskan, hal itu akan sangat disayangkan. Ia menjelaskan, UU Pengampunan Nasional akan bertabrakan dengan banyak undang-undang, semisal UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), serta UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Karena, baik itu yang Tipikor maupun penghindaran pajak, itu kan jadi tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang," ujar dia.
Apalagi, Agus melanjutkan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, PPATK bersama-sama dengan Ditjen Pajak telah membuat satuan tugas (Satgas) untuk mengejar para pengemplang pajak yang lari ke luar negeri.
Ketika PPATK membuat suatu laporan hasil analisis dan menemukan transaksi yang mencurigakan, maka laporan tersebut akan diteruskan kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
"Bila tindak pidana asalnya itu belum jelas, maka kita akan berikan kepada Ditjen Pajak untuk apakah mereka itu melakukan pelanggaran perpajakan atau tidak," jelasnya.
Ia melanjutkan, dalam satgas yang terbentuk pada tahun lalu itu, PPATK telah menyerahkan tak kurang dari 60 laporan hasil analisis. Di Ditjen Pajak, semua itu diserahkan. Kerja satgas serta tindak lanjut laporan-laporan dari PPAT' berbuah cukup baik.
"(Satgas) itu menghasilkan pemasukan negara Rp 2 triliunan," ucapnya.
Adapun PPATK sendiri juga menjadi bagian dari tim pemburu koruptor dan aset-aset koruptor di luar negeri. Tim ini dikepalai Wakil Jaksa Agung dan Wakabareskrim sebagai wakil ketuanya. Selain PPATK, ada pula Ditjen Imigrasi dan Kemenkumham.
Dalam menjalankan tugasnya, kata Agus, tim ini bekerja melalui mutual legal assistance (MLA) dengan negara-negara asing, yang di dalamnya para WNI pengelabu pajak dan pencucian uang marak.
Maka, menurut Agus, RUU Pengampunan Nasional hanya akan membuat malu Indonesia di mata negara-negara tersebut. Sebab, sedari awal melalui MLA Indonesia sudah menampilkan tekad untuk memburu WNI pengemplang pajak yang sedang berdiam di negara tetangga. Namun dengan UU Pengampunan Nasional, pemerintah RI justru balik badan dan lantas memberi reward berupa tax amnesty.
"Pengampunan pajak ini kalau bagi wajib pajak namanya reward. Jadi nanti apa kata dunia kalau kemudian kita yang tadinya sudah berhubungan sama Interpol, sama PPATK negara lain, kemudian kita pindah jalur?" keluh Agus.
Dia lantas menegaskan, pada zaman Orde Lama, juga pada 1984 pemerintah RI pernah mengadakan tax amnesty. Namun, semuanya itu gagal. Kegagalan ini dilihat dengan tolak ukur tingkat kepatuhan wajib pajak.
"Dua kali dan itu gagal. Enggak ada hasilnya," tegasnya.