REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai pentingnya pengawasan terhadap kinerja lembaga anti-korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini terkait izin penyadapan melalui pengadilan negeri yang tercantum dalam revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
"Yang penting itu ada pengawasan. Apakah itu lewat pengadilan atau ada pengawas KPK karena ini alat sensitif sekali. Salah-salah bisa melanggar hukum juga kan. Kan di situ harus, hanya boleh menyadap yg ada perkaranya kan. Yang ada urusan korupsi," kata JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (9/10).
Ia mengatakan pengawasan diperlukan agar tak terjadi kesalahan dalam melakukan penyadapan. Pengawasan, kata dia, dilakukan oleh lembaga yang lebih tinggi, seperti pengadilan atau dewan pengawas.
"Hanya pengawas itu memeriksa SOP. Katakanlah tiap bulan dia diperiksa benar gak yang anda sadap adalah orang-orang yang memang ada masalah. Jangan orang yang tidak ada masalah disadap. Bahwa lewat pengadilan atau dewan pengawas biar nanti dibicarakan," jelasnya.
Enam fraksi di DPR mengusulkan revisi UU KPK. Keenamnya adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Hanura, dan Fraksi PPP. Beberapa pasal yang mereka usulkan untuk diubah, antara lain:
Pasal 5 penambahan:
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan;
Pasal 13 ayat c:
Dalam hal KPK melakukan penyidikan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp50 miliar dalam hal KPK telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah Rp50 miliar maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan komisi pemberantasan korupsi;
Pasal 14 ayat a:
KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri.