REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai diinisiasi oleh anggota DPR RI. Sebanyak 45 orang dari 6 fraksi di DPR mendorong agar pembahasan revisi UU KPK dilakukan tahun ini.
Hal ini juga sesuai dengan permintaan pemerintah untuk memajukan pembahasan revisi UU KPK masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2015.
Namun, pembahasan yang diminta Menteri Hukum dan HAM, waktu itu dimentahkan oleh Presiden Joko Widodo sendiri. Sikap Jokowi yang terkesan 'balik badan' terkait permintaannya sendiri itulah yang membuat DPR was-was untuk mengajukan revisi UU KPK.
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan, seharusnya pembahasan soal revisi UU KPK ini dilakukan atas kesepakatan pemerintah dan DPR. Jangan sampai, ketika di satu pihak sedang berproses untuk menggulirkan revisi UU KPK, di pihak lain justru menghentikan secara sepihak. Terlebih, soal UU KPK adalah persoalan yang dinilai pemerintah dan DPR menjadi persoalan besar.
"Jangan ketika kita mulai berproses lalu ada yang balik badan, ini yang ingin kita konsultasikan dengan Presiden," katanya di kompleks parlemen Senayan, Kamis (8/10).
Fahri menambahkan, hari ini, pimpinan DPR mengirim surat ke Presiden Jokowi untuk minta waktu konsultasi soal revisi UU KPK. Ini merupakan amanat badan musyawarah DPR. Yaitu meminta kejelasan sikap dari Presiden Jokowi terkait revisi UU KPK.
Apakah Presiden sebagai pemimpin pemerintahan setuju dengan adanya revisi UU KPK atau tidak. Sebab, kalau Jokowi lagi-lagi tak setuju untuk merevisi, pembahasan revisi UU KPK tidak dapat dilanjutkan. Dalam sistem legislasi Indonesia, pembuat UU bukan hanya DPR, tapi juga bersama dengan pemerintah.
Saat ini fokus DPR soal persetujuan Jokowi soal revisi UU ini. belum menyangkut dengan substansi atau isi yang ada dalam draf revisi UU. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini bahkan juga mengatakan belum ingin berbicara soal pelimpahan atau pengambilalihan inisiatif revisi UU.
"Ngomong setuju dulu, atau tidak (Jokowi)," tegasnya.