Rabu 07 Oct 2015 20:20 WIB

Komisi Yudisial tak Lagi Terlibat dalam Seleksi Hakim

Rep: C93/ Red: Indira Rezkisari
Komisi Yudisial
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Komisi Yudisial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Pasal-pasal yang diujimaterikan itu mengatur mengenai proses seleksi pengangkatan hakim yang dilakukan Mahkamah Agung bersama dengan Komisi Yudisial (KY).

 

Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 43/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh hakim agung yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan diwakilkan oleh 5 hakim agung yakni Imam Soebechi, Suhadi, Abdul Manan, Yulius serta Burhan Dahlan, ditambah 1 panitera MA Soeroso Ono. Kesemuanya merasa dirugikan dengan berlakunya pasal 14A ayat (2) dan (3) UU Peradilan Umum, pasal 13A ayat (2) dan (3) UU Peradilan Agama dan pasal 14A ayat (2) dan (3) UU peradilan TUN. IKAHI beranggapan, bahwa diberlakukannya ketentuan a quo menyebabkan terhambatnya proses seleksi hakim.

 

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Utama, Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (7/10).

 

Dengan putusan ini, MK menyatakan, keterlibatan KY dalam proses seleksi pengangkatan hakim ‎pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan TUN inkonstitusional. ‎MK menghapus frasa 'bersama' dan frasa 'dan Komisi Yudisial' dalam Pasal 14A ayat(2) dan (3) UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) UU Peradilan Agama, serta Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU Peradilan TUN bertentang dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

MK kemudian menyatakan, norma ketentuan pasal-pasal dalam 3 undang-undang itu, bahwa proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan TUN dilakukan oleh Mahkamah Agung.‎ MA juga menjadikan norma dalam pasal-pasal 3 undang-undang itu menjadi berbunyi 'ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung'.

 

MK mempertimbangkan, frasa 'wewenang lain' dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Frasa itu tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. "UUD 1945 tidak memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk memperluas kewenangan KY," tambah Anwar.

 

Meski dalam Pasal 24 UUD 1945 mempertimbangkan, tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan MA dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim di peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan TUN, namun dalam ayat 2 dari Pasal 24 UUD 1945 itu ‎tegas mengatakan 3 undang-undang yang diujimaterikan ini berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah MA.

 

"Dalam putusan nomor 05/PUU-IV/2006, menurut Mahkamah, KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman. Melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ. Yakni membantu atau‎ mendukung pelaku kekuasaan kehakiman," tegas Anwar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement