REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat menolak keinginan beberapa fraksi di DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut karena pasal-pasal dalam draf revisi berpotensi melemahkan KPK.
"Sungguh sangat memprihatinkan masih ada pihak yg hendak melemahkan dengan cara mengurangi berbagai kewenangan KPK, yang sejatinya dalam kondisi korupsi yang masih marak saat ini, kewenangan-kewenangan tersebut masih sangat diperlukan," ujar Wasekjen Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin, Rabu (7/10).
Didi melanjutkan Partai Demokrat tidak sepakat jika fokus KPK hanya sebatas pencegahan semata. Sebab pencegahan dan penindakan harus seiring sejalan. Menurutnya jika salah satu fungsi dihilangkan, maka hal itu akan melonggarkan terjadinya kasus korupsi.
"Tidak akan ada efek jera bagi koruptor manakala tidak bisa ditindak oleh KPK. Apalagi selama ini penindakan oleh KPK sudah cukup berhasil menyelamatkan uang negara secara signifikan," katanya.
Ia menambahkan, Partai Demokrat melihat saat ini negara masih dalam darurat korupsi. Oleh keran itu tidak ada alasan kuat revisi dengan tujuan merubah kewenangan KPK.
"Sekali lagi yang akan senang adalah para koruptor kalau revisi itu tetap dipaksakan," tegasnya.
Seperi diketahui, beberapa fraksi di DPR mendorong agar UU KPK direvisi. Hal itu mendapat penolakan karena adanya pasal-pasal kontroversial dalam draft revisi uu kpk. Berikut pasal-pasal itu:
Pasal 5
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, tindak pidana korupsi yang: (b) menyangkut kerugian negara paling sedkit Rp 50.000.000.000,00
(c) dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara drngan nilai dibawah 50.000.000.000, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri
Pasal 22
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
b. Dewan Eksekutif yang terdiri dari 4 anggota
Pasal 23
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dibantu oleh Dewan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh Panitia Seleksi Pemilihan
(6) Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh presiden
Pasal 24
Dewan Eksekutif berfungsi menjalankan pelaksanaan tugas sehari-hari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dan melaporkannya kepada Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi
Pasal 39
1) Dalam melaksanakan tugas dan penggunaan wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi maka dibentuk Dewan Kehormatan
2) Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk tegoran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK
3) Dewan Kehormatan bersifat AdHoc yang terdiri dari 9 anggota, yaitu 3 unsur dari pemerintah, 3 unsur dari unsur aparat penegak hukum dan 3 orang unsur dari masyarakat
Pasal 42
Komisi Pemberantasan Korupsi BERWENANG MENGELUARKAN Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP
Pasal 45
(1) Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 (3) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan dari kepolisian atau kejaksaan
Pasal 49
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya
Pasal 52
(2) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut wajib memberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan
Pasal 53
(1) Penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
Pasal 73
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berakhir setelah 12 tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik