REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan beberapa fraksi di DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memicu pro dan kontra di publik.
Pengamat hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Choirul Huda menyambut baik rencana tersebut. Menurutnya revisi UU KPK no.30 tahun 1999 harus ditekankan pada upaya penataan dan penyempurnaan, dengan demikian Undang Undang KPK ini tidak dikultuskan seolah-olah paling sempurna.
"Undang Undang KPK tidak boleh dikultuskan, itu bukan Al Qur'an. Karena bisa jadi ada kelemahan di dalamnya, yang perlu diperhatikan adalah penataan bukan pelemahan," terangnya kepada wartawan, Rabu (7/10).
Ia mengatakan ketika dibentuknya Undang Undang KPK ini, menurut dia kondisi saat itu sangat itu kondisi yang menuntut KPK sebagai lembaga superbodi.
Kondisi saat ini menurut dia berbeda, fakta yang terjadi banyak penetapan tersangka oleh KPK bermasalah sehingga bisa digugat di pra peradilan.
Padahal di Undang Undang, KPK tidak berhak mengeluarkan SP3. Belum lagi kasus yang muncul dari pimpinan KPK, karena tidak adanya pihak yang mengontrol pimpinan KPK.
Kemudian permasalahan penyadapan yang belum adahukum acaranya. Jadi memang ada beberapa hal sangat perlu secara akademis dilakukan revisi.
Prof. Romli Atmasasmita yang juga pakar hukum sekaligus konseptor awal Undang Undang KPK juga mengusulkan perlunya Undang Undang KPK disempurnakan.
Jadi poin yang direvisi tersebut penekanannya bukan pelemahan tapi harus disempurnakan untuk penguatan lembaga KPK agar lebih profesional lagi.