REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan isi Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) di hadapan komisi III DPR. Dalam paparannya, HM Prasetya mengatakan ada beberapa pasal di dalam RUU KUHP perlu dikaji lebih lanjut.
Ada beberapa pasal-pasal yang menurut mantan politikus Nasdem ini perlu dikaji lagi. Sebab, pasal-pasal-pasal itu memunculkan perdebatan di publik. Yaitu soal tindak pidana korupsi dan pencucian uang, tindak pidana penghinaan martabat Presiden dan Wakil Presiden, serta tindak pidana kekuatan gaib.
“Kami berpendapat pasal penghinaan tetap dipertahankan dengan catatan delik tersebut dijadikan delik aduan,” kata Prasetyo di kompleks parlemen Senayan, Senin (7/9).
Prasetya menambahkan, pasal ini harus dilakukan penyesuaian agar tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, MK sudah membatalkan pasal penghinaan tersebut di putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ini memang menimbulkan pertentangan. Sebab, RUU KUHP juga dimuat pasal soal aturan perlindungan bagi kepala denaga dan wakil kepala negara asing dari penghinaan.
“Kalau ada UU yang mengatur perlindungan terhadap kepala negara dan wakil negara asing dari penghinaan, harusnya untuk kepala dan wakil kepala negara sendiri juga ada,” kata wakil Jaksa Agung, Andi Nirwanto.
Sebelumnya, pasal soal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ini menjadi polemik dan perdebatan di masyarakat. Sebab, munculnya pasal ini dinilai akan menjadi pasal karet yang akan membatasi kebebasan berpendapat dari masyarakat.