REPUBLIKA.CO.ID, BANJARNEGARA -- Perwakilan masyarakat terdampak pencemaran Sungai Ciujung, Kabupaten Serang, Banten, menyampaikan aspirasinya dalam Kongres Sungai Indonesia 2015 yang diselenggarakan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada 26-30 Agustus. Menyambut musim kemarau, masyarakat kembali was-was dengan mulai menghitamnya Sungai Ciujung.
“Kejadian ini berulang selama lebih dua dekade, namun hingga kini, belum ada langkah tegas yang diambil oleh KLHK, Bupati/BLHD Kab. Serang, maupun PU,” ujar salah satu perwakilan masyarakat yang tergabung dalam kelompok advokasi Riung Hijau Amrin Fasa dalam siaran pers kepada Republika, Rabu (2/9).
Setidaknya sejak 2011, masyarakat telah mengadvokasi penegakan hukum terhadap PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) Serang, yang merupakan pencemar dengan kontribusi terbesar pembuangan limbah ke Sungai Ciujung.
“IKPP ini izin pembuangan limbahnya sudah pernah dicabut pada 2011. Lalu tahun 2012 KLH mengenakan sanksi audit lingkungan wajib terhadap IKPP. Setelah rekomendasi audit keluar, Ciujung masih hitam sehingga kami melapor ke KLHK hingga 3 kali,” kata warga yang melaporkan peristiwa menghitamnya Cijung kepada Tim Penanganan Pengaduan Kasus-kasus Lingkungan Hidup & Kehutanan (TP2KLHK) Anton Susilo.
TP2KLHK merupakan tim bentukan KLHK pada Januari 2015 untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat dengan cepat dan efektif. Pengaduan Anton tersebut ditindaklanjuti TP2KLHK, yang pada akhir April 2015 menghukum PT IKPP dengan sanksi administratif paksaan pemerintah SK Nomor 9 Tahun 2015. Dalam pertemuan dengan BLHD pada 14 Agustus 2015, PT IKPP menyatakan, kewajiban yang dibebankan sanksi tersebut telah dilaksanakan sepenuhnya.
Namun, kata Anton, masyarakat menyayangkan sikap KLHK yang tertutup dan lamban dalam mengkomunikasikan detail sanksi paksaan pemerintah kepada masyarakat. Hingga kini masyarakat belum mengetahui isi sanksi paksaan pemerintah tersebut karena KLHK enggan membuka detail SK paksaan pemerintah tersebut kepada pelapor.
“Jika pelapor tidak tahu kewajiban apa yang KLHK berikan kepada pencemar, bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa KLHK dan pencemar telah melakukan upaya terbaik menanggulangi pencemaran agar tidak terjadi lagi?” lanjut Anton.
“Percuma sanksi terus dijatuhkan kalau tidak ada perubahan apa-apa di lapangan. Kita jadi ragu dengan komitmen KLHK untuk betul-betul memastikan sanksi bisa efektif dan bukan cuma formalitas,” imbuhnya.
Menyikapi hal itu, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Margaretha Quina menyatakan, sikap KLHK tersebut bertentangan dengan peraturan yang dibuat oleh KLHK sendiri. Dia merujuk Permen LH Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin bahwa keputusan merupakan dokumen publik, termasuk SK Paksaan Pemerintah secara hukum harus bisa diakses publik setiap saat.
“Informasi ini juga sudah menjadi hak pelapor dan masyarakat selaku pengadu berdasarkan Permenlh Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pananganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup,” katanya..
Menurut Quina, akses publik merupakan salah satu syarat pengaduan berjalan efektif, sehingga publik dapat mendukung pemerintah dalam penerapan sanksi. Hal itu masuk akal mengingat pemerintah sendiri memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan.
Di samping penegakan hukum, pemulihan Sungai Ciujung merupakan hal kedua yang perlu segera dilakukan pemerintah, sebagaimana dinyatakan Ode Rahman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), “Sungai Ciujung memiliki dua masalah besar. Pertama, penegakan hukum terhadap pencemar harus benar-benar menimbulkan efek jera sehingga tidak berulang di masa depan. Kedua, semua instansi terkait perlu mendiskusikan pemulihan sungai Ciujung dalam jangka panjang.”
Dengan Kongres Sungai Indonesia ini, masyarakat di bantaran Sungai Ciujung mengharapkan pemerintah lebih serius dalam memprioritaskan pencemaran sungai, baik dalam konteks efektivitas penegakan hukum maupun pemulihan jangka panjang.