REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah dinilai masih melakukan cara-cara konvensional dalam mengantisipasi kasus kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap. Alhasil, kebakaran hutan di lahan gambut terus terjadi dari tahun ke tahun.
“Komitmen pemerintah daerah yang berkomitmen Sumatera Selatan bebas asap pun nyatanya gagal,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Hadi Jatmiko pada Selasa (1/9).
Cara konvensional seperti water boombing, pemadaman lewat darat maupun membuat hujan buatan seharusnya dibarengi upaya pencegahan, penutupan sekat kanal dan penegakkan hukum bagi perusahaan pembakar hutan.
Dari 1,2 hektare lahan gambut di Sumsel, lanjut dia, 70 persennya merupakan areal hutan tanaman industry (HTI) serta terdapat perkebunan sawit sebanyak 800 hektare. Aksi korporasi merekalah yang menurutnya menjadi penyebab utama karhutla yang besar. Namun, penindakan hukum dari pemerintah hingga detik ini masih setengah hati.
Walhi Sumsel telah melakukan penghitungan kerugian akibat kerugian hutan untuk wilayah Jambi, Sumatera Selatan dan Riau. Pada 2014, kerugian financial dari tiga provinsi tersebut yakni Rp 6,7 triliun. Kerugian tersebut bisa lebih besar bila ditambah kerugian sosial, transportasi dan kesehatan yang dialami masyarakat.
“Di 2014 ada speedboot mengangkut 40 orang, karena kabut asap, sopirnya mengaku tidak melihat kayu besar dan akhirnya menabrak, satu orang meninggal dan yang lainnya luka-luka,” tuturnya.
Yang lebih memprihatinkan, saat ini babut asap telah menyerang wilayah Sumsel. Namun, anak-anak sekolah masih tidak diliburkan. Mereka dipaksa menghirup asap dan merugikan kesehatan mereka.