Jumat 21 Aug 2015 07:50 WIB

Penggusuran Rumah oleh TNI Harus Tunggu Keputusan Presiden

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Hazliansyah
Petugas dengan alat berat merobohkan bangunan saat penggusuran pemukiman liar di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta, Kamis (20/8).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Petugas dengan alat berat merobohkan bangunan saat penggusuran pemukiman liar di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta, Kamis (20/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- TNI dinilai tidak boleh terlibat dalam penggusuran rumah tanpa ada keputusan politik dari Presiden. Artinya, penggusuran paksa terhadap rumah purnawirawan TNI yang terjadi di Srondol, Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu tidaklah dibenarkan.

"Ini mengacu pada UU TNI pasal 7 ayat 3 yang menyebutkan keterlibatan militer dalam operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika ada keputusan dari Presiden," ujar Dorektur program Imparsial Al Araf, Kamis (20/8) malam. 

Bertolak dari UU tersebut, kata Al Araf, maka penggusuran yang dilakukan TNI adalah keliru. "Tanpa ada keputusan politik negara, tindakan ini dapat dianggap telah melanggar UU TNI," ucapnya.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu terjadi penggusuran paksa yang dilakukan ratusan personil tentara dari Kodam IV Diponegoro terhadap puluhan rumah warga Jalan Setia Budi RT 04/ RW 02 Srondol Semarang.

Ironisnya penggusuran paksa terhadap rumah purnawirawan TNI paling sering menimpa mereka yang pangkat terakhirnya Pamen (Perwira Menengah) ke bawah. Pengosongan sebanyak 33 rumah di lahan seluas 6.400 meter persegi milik Kodam IV/Diponegoro sesuai perintah KSAD untuk menertibkan aset milik TNI AD. 

Harusnya, jajaran pimpinan TNI, bahkan Presiden RI selaku Panglima Tertinggi mengeluarkan rumusan kebijakan yang baik untuk para purnawiran TNI. Khususnya kebijakan terkait tempat tinggal mereka selama ini yang menjadi kebutuhan primer atau mendasar dalam hidup. 

Sesuai pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria tahun 1969 maka warga yang sudah lama bahkan puluhan tahun menempati dan mendiami tanah negara, apalagi warga yang menempati tanah tersebut seharusnya mendapat prioritas pertama sebagai yang berhak mengajukan permohonan pembuatan Sertfikat Hak Milik (SHM).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement